⛓ 10

2.8K 441 84
                                    

Belakangan ini suasana hati Yada jadi mendung. Terakhir kali bertemu Ares adalah dua hari lalu, setelah mereka sempat berargumen cukup serius. Sampai saat ini Ares belum menunjukkan eksistensi lagi. Mungkin benar-benar mencari orang lain untuk dimintai tolong. Sebab kemarin Yada memang agak kasar dan pasti membuatnya sakit hati.

Seharusnya Yada tidak terusik dengan hilangnya Ares. Justru bersyukur karena gangguan yang ia terima sudah tidak ada lagi. Namun, Yada malah tidak tenang dan dihantui rasa bersalah. Yada sadar kalau ia terlalu blak-blakan. Kalau dipikir lagi, ia jadi tidak enak pada Ares.

Lantas sekarang di sinilah pemuda itu berakhir. Gudang kelas X IPS 5. Ia tak masuk ke dalam, hanya berdiri di ambang pintu dan menerawang apakah di dalam ada sosok Ares. Sayangnya, terawangan Yada tidak membuahkan hasil. Ia memang tidak bisa menerawang. Jadi, yang terlihat hanya ruangan gelap dan berdebu.

"Mau ngapain, Yada?" Suara berat itu menyentak pemuda kurus tersebut. Buru-buru berbalik dan tampak gelagapan setelah sadar siapa yang bersuara barusan.

"Ng-nggak ngapa-ngapain, kok, Pak." Yada mundur beberapa langkah.

Titra menatap Yada sangsi. Sekarang sekolah sudah sepi dan hanya tinggal beberapa siswa serta guru saja yang masih bertahan. Tentu saja karena mereka memiliki kepentingan. "Bel pulang udah bunyi dari tadi. Kenapa nggak pulang? Ada ekskul?"
 
Yada bingung harus mencari alasan apa, sehingga hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Terus ngapain? Nggak mungkin nggak ngapa-ngapain tapi berdiri di sini terus. Saya udah perhatiin kamu dari pintu ruang guru dan kamu nggak berpindah sejengkal pun sampai saya berdiri di sini." Nada penuh kecurigaan itu makin membuat Yada tidak bisa berkutik. Tirta memang tidak terlihat galak, tetapi sudah jelas guru muda itu akan marah jika Yada ceritakan yang sebenarnya.

"Ini saya mau pulang. Tadi cuma mau liat ada barang yang ketinggalan atau enggak. Saya duluan, Pak!"

Pemuda jangkung itu hendak ngacir dari hadapan sang guru, tetapi tali ranselnya malah ditahan hingga ia tidak bisa kabur. Tirta menarik ransel Yada ke arah ruang guru tanpa berkata sepatah kata pun. Beruntung di sana sudah sepi. Tidak ada guru lain di sana, hanya tinggal meja kursi tak berpenghuni.

Tirta duduk di kursinya, sedangkan Yada dibiarkan berdiri. Sudah siap untuk diinterogasi. "Kayaknya kamu nggak ingat soal perkataan saya beberapa hari lalu, ya?"

"Ingat, Pak," cicit Yada dengan kepala tertunduk.

"Kalau gitu kamu ngapain di sana? Sendirian pula."

"Saya ..., saya nyari sesuatu, Pak."

"Nyari apa? Nyari masalah? Nyari penyakit?" Tirta berusaha untuk tidak terlalu emosi. Sebisa mungkin bersabar dengan Yada yang bebal. "Kakak sama Adik kamu mana? Harusnya sekarang kamu sudah di rumah. Bukan keliaran nggak jelas nyari hantu."

"Mas Eren sama Yuka udah pulang. Tadi saya bilang saya ada kerja kelompok sama teman." Jemari Yada bertaut gelisah. Degupan jantungnya juga tak bisa tenang. Rasanya organ dalam dada Yada itu hendak mencuat keluar.

Hela napas pendek terdengar kemudian. Entah bagaimana lagi Tirta harus memberi pengertian pada Yada. Lelaki itu kemudian berdiri dan mengambil kunci mobil yang tergeletak di sudut meja. "Ya sudah, saya antarkan kamu pulang aja. Kerja kelompok itu cuma alasan kamu buat mereka aja, kan?"

Yada malah mematung sesuai mendengar pertanyaan Tirta. Bimbang antara harus mengiakan atau menolak dengan halus. Ia tidak enak kalau harus merepotkan Tirta. Apa lagi jam kerja Tirta sudah usai dan seharusnya tidak mengurusi Yada yang banyak mau ini.

"Ayo?" ujar Tirta ketika anak didiknya itu malah diam tanpa suara. "Saya nggak akan ngadu ke keluarga kamu soal apa yang saya lihat, kok. Justru saya akan bantu kamu untuk cari alasan di rumah nanti."

Ketika Purnama HabisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang