Dilemma 12

329 54 0
                                    

Selesai makan siang—yang disertai tawa—Fabian dan Kinan segera kembali ke hotel. Perempuan itu langsung handover dengan resepsionis yang bagian swing shift minggu ini, sedangkan Fabian bergegas masuk lift menuju ruang kerjanya yang ada di lantai 7. Mengingat Dinar sedang sensitif hari ini, Fabian membuka pintu ruang kerja dengan penuh kehati-hatian. Bahkan, dia juga mendaratkan bokongnya pelan, berusaha tidak menimbulkan deritan sedikit pun.

Namun, semua itu sia-sia. Saat Dinar menoleh, Fabian tersentak sampai terjatuh ke lantai.

Dinar geleng-geleng kepala melihat tingkah asistennya itu. “Kamu bersikap biasa aja, Yan. Saya gak masalah, kok.”

Fabian bergegas berdiri dan duduk di kursi kerjanya. Dia mengangguk sopan, sambil berujar, “Iya, Mas.”

Terdengar embusan napas panjang dari bibir Dinar, dia memutar kursi kerjanya sehingga menatap keramaian Jalan Gatot Subroto. “Saya minta maaf kalau hari ini keras sama kamu. Biasa, lah, urusan rumah tangga. Saya udah berusaha untuk profesional, tetapi tidak bisa. Masalahnya benar-benar bikin saya ruwet, Yan.”

“Gak apa-apa, Mas. Saya paham,” jawab Fabian seadanya.

“Kalau nanti kamu udah nikah, pasti kamu lebih paham lagi posisi saya,” cetus Dinar, masih dengan mata yang tertuju pada keramaian jalan. Baru satu tahun dia menikah, jadi masih dalam tahap adaptasi. “Saya sama istri pacaran lima tahun, tetep aja kaget pas udah tinggal satu rumah. Ada banyak kebiasaan yang harus kita sesuaikan bersama. Gak jarang, kita berantem gara-gara masalah kecil. Kayak tadi pagi aja. Gara-gara saya lupa tutup pasta gigi, dia ngomelnya sampai bikin saya gak nafsu makan.”

Tidak ada jawaban dari Fabian. Dia hanya mengangguk dan ber-oh ria mendengar cerita atasannya itu. Sekarang Fabian sadar, tidak peduli berapa lama sepasang sejoli menjalin kasih, mereka akan tetap dituntut untuk beradaptasi jika sudah menikah.

“Umur kamu berapa?” tanya Dinar sambil memutar kursinya menjadi menghadap Fabian.

“Baru dua puluh enam, Mas.”

“Udah tua itu mah, bukan baru lagi. Udah pantas buat berumah tangga. Saya nikah 28, sih. Tapi beda tipis, lah.”

Dinar menegakkan duduknya, pertanda dia akan mulai bicara serius. Jam istirahat masih tersisa 10 menit lagi, mereka masih punya waktu untuk membicarakan hal di luar pekerjaan.

“Kamu sama resepsionis itu gimana? Mau serius atau cuma main-main?”

Fabian tersenyum kikuk. Dia merasa hal itu adalah masalah pribadi, tetapi tidak mungkin juga dia tidak menjawab pertanyaan atasannya sendiri. “Serius, Mas. Udah bukan umurnya saya main-main.”

“Bagus! Jadi laki-laki emang harus gitu, gentleman. Jangan pernah main-main sama cewek, nanti kena karma,” tuturnya dengan penuh keyakinan. “Kalau serius, kapan mau nikah?”

Kali ini, Fabian tidak bisa menahan keterkejutannya. Matanya hampir meloncat ditanya demikian. Bu Astika saja, selaku orang tua Kinan, tidak pernah menanyakan hal itu. Fabian justru ditodong oleh atasannya sendiri. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus menjawab bagaimana.

“Belum tahu, Mas. Saya sama Kinan belum ada obrolan sampai ke sana.”

Bibir Dinar melengkung ke bawah, jelas sekali laki-laki berjambang tebal itu mencemooh Fabian. “Jangan lama-lama, lah. Pacaran zaman sekarang itu bahaya, banyak yang kebablasan sampai akhirnya nikah sambil nunggu lahiran. Apalagi kamu itu laki-laki baik, jangan sampai nanti malah citranya jelek. Atau, bisa aja pacar kamu itu malah tergoda sama cowok lain. Cewek zaman sekarang matre semua!”

“Iya, Mas. Makasih untuk wejangannya.” Fabian berdiri. Mendadak tenggorokannya kering dengan segala pembicaraan Dinar. “Saya izin ambil air dulu, Mas,” pamit Fabian sambil meninggalkan meja kerjanya.

Catat, Fabian tidak pernah suka ada orang yang tidak dikehendaki ikut campur dalam kehidupannya. Terlebih, mengenai hubungan asmara. Dan apa yang baru saja Dinar lakukan? Dia menyamaratakan hubungan asmara seluruh rakyat Indonesia. Pacaran zaman sekarang suka berlebihan, umur 26 sudah cocok menikah, dan perempuan sekarang materialistis. Fabian tidak suka.

“Kira-kira dia bakal mau, gak?”

“Coba aja dulu. Orangnya baik banget. Dulu, gue aja pernah dibikinin kopi waktu gak sengaja ketemu di pantry bawah. Kalau belum punya pacar, udah pasti gue juga ngegebet Kinan.”

Pendengaran Fabian seketika menajam saat mendengar nama Kinan disebut-sebut. Dia memegang secangkir teh panasnya erat, melangkah menuju lemari es, tempat di mana dua orang houseman sedang berbisik-bisik.

“Tapi, yang pernah gue denger juga Kinan pacaran sama salah satu karyawan di sini. Bener, gak, sih? Kalau udah punya pacar, gue gak mau, ah,” tutur laki-laki yang bersandar ke tembok. Tangannya memegang ponsel, menampilkan sederetan foto Kinan yang ada di Instagram.

“Bukan pacar, cuma sahabat. Katanya, dulu mereka satu sekolah gitu. Itu yang gue denger dari salah satu maids. Lagian, kalau baru pacaran juga gak apa-apa. Baru pacar, bukan suami.” Laki-laki yang sedang menyeduh kopi berujar dengan penuh percaya diri. “Pokoknya, sebelum Kinan pulang, langsung lo ajak makan malam. Harus rapi-rapi dulu, pakai parfum, gosok gigi, biar enggak ditolak. Terus, nanti antar pulang, supaya lo tahu rumahnya di mana.”

Sang teman mengangguk dengan senyum lebar. “Bener lo! Pokoknya, jangan sampai gue ditolak!”

“Ekhem!” Fabian berdeham, berhasil membuat dua houseman itu tersentak di tempat masing-masing. Ia tersenyum miring, entah karena merasa pembicaraan mereka lucu atau untuk meredakan gejolak dalam hatinya. “Mau teh manis, Kang? Saya gak terlalu suka, jadi mau saya kasih ke kamu aja.”

Laki-laki yang bersandar ke tembok celingak-celinguk. Setelah memastikan Fabian benar-benar bicara padanya, barulah dia melangkah dan menerima teh itu. “Ma-makasih, Pak.”

“Tidak perlu sungkan. Teh ini bukan apa-apa,” jawab Fabian sambil menepuk pelan bahu laki-laki itu. “Akang cukup sungkan buat ajak Kinan makan malam aja, karena dia pasti tolak Akang. Dia emang enggak pilih-pilih tempat atau makanan. Tapi, dia cukup selektif untuk memilih siapa yang akan jadi teman makannya. Dia enggak suka makan dengan orang asing.”

Dua orang yang ada di sana terdiam seribu bahasa. Mereka mendadak menjadi patung. Hanya mata yang berulang kali mengerjap saat mendengar ucapan Fabian.

Senyum Fabian semakin lebar. Dia sudah berbalik, hendak meninggalkan pantry. Namun, tidak jadi karena dia melupakan sesuatu. “Satu lagi. Saya dan Kinan bukan sekedar sahabat, kami pacaran. Dan saya enggak akan membiarkan orang lain merebutnya.” Kemudian, dia mengangguk sopan. “Saya permisi.”

“I-iya, Pak,” jawab keduanya dengan bersamaan.

Fabian berjalan meninggalkan pantry dengan rahang yang mengetat keras dan kedua telapak tangan yang terkepal. Hubungannya dengan Kinan baru tiga bulan, tetapi harus berhadapan dengan orang-orang yang mau mendekati Kinan. Mana saingannya juga satu tempat kerja, Fabian jadi khawatir sendiri.

Terlebih lagi, jika dilihat-lihat, houseman barusan lumayan tampan juga.

*
*
*

Secuek-cueknya cowok, pasti was-was kalo tahu ada yang suka sama pacarnya. Iya, gak?

Bini Ceye,
19.08, 17 November 2021.

08, 17 November 2021

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang