Chapter 8: Enantiomer

137 17 86
                                    

Barangkali, pojok berdebu yang jarang sekali mendapat halaman untuk diilustrasikan adalah asrama putra. Pada rekam jejak sepatu yang mencetak pola alas kaki di mana-mana, juga pada tumpukan debu bekas sapu yang dibiarkan kering dan menebal di sudut-sudut tersembunyi. Secara keseluruhan, asrama yang dikhususkan untuk anak adam tersebut menginterpretasikan dengan jelas peranan penting seorang petugas kebersihan.

Langit sore ini tampak muram. Atmosfer beku mengeluarkan udara bersuhu rendah ke permukaan, membuat siapapun enggan beranjak dari peraduan. Terkecuali Arsen yang betah berdiri di balkon kamar asrama. Bola matanya mengorbit tak tentu arah. Dua hemisfer dalam otaknya berkolaborasi menciptakan hipotesis-hipotesis baru.

Asrama putra tersebut cukup luas, berseberangan dengan asrama putri yang dibatasi oleh gedung utama dan kantin. Sekilas tampak seperti asrama pada umumnya, tetapi Arsen tahu ada sejuta misteri yang tersimpan dalam ruang-ruang yang berderet rapi dengan tiga tingkat lantai tersebut.

Arsen yakin, ada tujuan khusus yang menjadi alasan logis keberadaan mereka di sini. Bukan semata "memenuhi" surat undangan misterius yang tahu-tahu terselip dengan ajaib di saku jas putih kuyu yang sudah sekian lama dibiarkannya menggantung di belakang pintu.

Tidak ada undangan bila tidak ada acara, bukan?

Maka, sebulan lebih ini Arsen mendapati dirinya berpikir keras layaknya seorang yang akan menjalani ujian sidang esok hari, hanya untuk memikirkan konspirasi apa yang sebenarnya menjerat mereka—para penghuni asrama yang sarat problematika.

Mulanya, Arsen menduga mereka yang "terpilih" adalah para manusia bermasalah—yang pada akhirnya akan mendapat pencerahan dan terbebas dari masalah masing-masing. Namun, bagian paling rasional dari akal sehatnya serta-merta membantah. Anggapan tersebut terlalu naif, atau mungkin imaginatif.

Pikirkan saja, siapa yang ingin menyisihkan anggaran untuk menghidupi para anak bermasalah dari seluruh pelosok negeri dengan gratis selama tiga ratus hari penuh tanpa indikasi yang berarti? Menteri sosial saja mungkin akan berpikir ribuan kali.

Persetan soal teki-teki dan sandi rahasia. Serangkaian soal yang menguras pikiran itu tak lain sebuah pengalihan semata. Arsen yakin bila petunjuk di balik kode merujuk pada masalah yang dialami salah satu di antara mereka yang menghuni asrama. Sebagai bentuk pembenaran untuk keberadaan mereka di sini.

Terakhir yang Arsen dengar, ada satu kode yang berisi sebuah kecaman mengerikan bila dalam kurun waktu 300 hari mereka gagal menyelesaikan misi. Lalu, ada kode yang lain pula yang menjadi jawaban akan harapan dan kerja sama tim.

Sungguh menggelikan. Bila ancaman itu benar, bukankah mereka bisa angkat kaki dengan mudah? Tidak ada blokade akses keluar-masuk asrama kecuali jam malam saat gerbang utama di tutup. Lantas, mengapa mereka memilih menetap?

Jawabannya hanya satu: terpaksa. Sejak awal, mereka memang tidak diberi pilihan. Siapapun yang bergabung di asrama ini punya alasan masing-masing untuk tidak bisa kembali.

Dahi Arsen mengernyit dalam saat dengan dengan ajar hipokampusnya menyetel kilas balik kenangan buruk, pada perkara yang membuatnya terpaksa berkamuflase menjadi seorang remaja tanggung di asrama yang menawarkan untuknya dinding kokoh sebagai barier pertahanan hidup.

"Pegasus!"

Sebuah seruan membuat Arsen tersentak. Penglihatannya diturunkan sekian derajat, pada seorang gadis dengan sweater biru tipis yang tampak kepayahan menghalau angin senja. Spontan, Arsen membawa pandangannya mengangkasa, mengikuti telunjuk sang gadis.

Dalam hitungan detik Arsen menyumpahi kuriositasnya yang terpantik. Tidak apapun di atas sana selain gumpalan awan kelabu yang bergelung lambat.

"Dia datang lagi ...." Arsen berujar lirih.

Asrama 300 DCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang