Sudah berpuluh-puluh kali dalam satu bulan ini, aku dan kamu berjalan berdampingan dengan kedua tangan saling bertautan menyusuri jalanan kota dibawah sinar rembulan juga lampu temaram.
Kita sama-sama bungkam, membiarkan sunyi memenangkan suasana disekitar kita. Kita adalah manusia yang terlahir dengan banyak kesamaan tanpa kita sadari. Bagiku ini sudah lebih dari cukup. Aku beruntung bisa memilikimu dipertemuan kita pada halaman ini.
Satu setengah tahun bukalah waktu yang sebentar untuk bertahan dan mempertahankan.
Satu setengah tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk kita dua manusia yang beranjak dewasa ini berkomitmen didalam sebuah hubungan berlandaskan kata cinta dan sayang.
Satu setengah tahun bukanlah waktu yang sebentar, tapi aku dan kamu mampu tetap berdiri berdampingan setelah diombang-ambingkan oleh badai.
Kamu selalu bertanya mengapa aku mau bertahan dengan manusia yang masih menjadi beban keluarga sepertimu, jawabannya adalah aku tidak tahu. Jika aku bisa memilih kepada siapa aku memberikan cintaku maka aku akan memilih seseorang yang masih tetap berdiri dengan tenang setelah badai menerjangnya berulangkali. Dan pada akhirnya pilihan itu tetap saja menggambarkan dirimu.
"Ada yang ingin kamu ceritakan kepadaku?" Tanyamu tanpa membalas tatapan sepasang manik mataku.
"Tentu saja, ada." Banyak kenangan yang terputar dipikiranku dalam empat detik berikutnya.
Detik pertama, aku merasakan hangatnya pelukan ibu setelah beberapa jam ayah mengajarkan kepadaku caranya untuk terapung saat berenang. Lalu pelukan ibu berganti dengan usapan lembut dari telapak tangan kasar ayah yang mengusap air mataku yang mengalir karena melihatnya terluka hebat.
Detik kedua, aku bisa mendengar banyak tawa yang mengudara hanya karena lelucon yang tidak sengaja aku lontarkan di depan kelas. Aku juga bisa merasakan sakitnya menjadi Bagas yang terkena pukulan keras dari keempat teman-temanku sebagai balasan karena telah hampir melecehkan diriku melalui perkataannya.
Detik ketiga, aku mulai mengingat bagaimana caraku memaksa Kafka, sepupu laki-lakiku itu untuk menemaniku menonton film di jam dua dini hari. Hingga, aku juga ingin tertawa saat mendengar kembali segala sumpah serapahnya saat aku memakaikannya masker wajah beraroma tomat pada wajahnya. Dan jangan lupa dengan semua alasan tidak masuk akalnya saat aku menginginkan dia memakai pakaian yang sama dengan diriku saat kita berpergian.
Detik keempat, aku mulai memikirkan segala kesamaan yang ada diantara kita. Kita yang sama-sama tidak menyukai keramaian; kita yang sama-sama menyukai malam; kita yang sama-sama terjebak dalam situasi lintas jurusan; kita yang sama-sama mempunyai hobi saling memaafkan; kita yang sama-sama memuja kulit ayam; dan masih banyak lagi kesamaan kita yang lainnya. Dan tiba saat dimana aku juga mengingat tentang sebuah perbedaan yang ada diantara kita, sebuah perbedaan yang tidak akan pernah bisa kita perbaiki atau maklumi, dan perbedaan itu adalah "Maaf, lusa aku tidak bisa mengantarkanmu untuk membeli makanan untuk berbuka puasa karena aku harus menghias Gereja untuk Natal tahun ini."
Hingga akhirnya perbedaan itu menciptakan sebuah masa dimana kamu menyerah untuk mempertahankan kita, "Terimakasih telah bertahan sejauh ini bersamaku. Maaf karena menjadi orang ketiga antara kisah cintamu dengan Tuhan." Dari awal memang sudah jelas, hubungan yang kita jalani saat ini tidak akan berkembang tidak mungkin juga salah satu dari kita mengalah.
Tak pernah kubayangkan secepat ini
Aku takutkan benar terjadi adanya
Perbedaan mengalahkan rasa
Dan kita menyerah kalah pada keadaan
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia selalu, Jeff.
Teen FictionPada akhirnya, kita sama-sama memilih untuk mengalah. --pada apa-apa yang sejak awal sudah kalah. 1.a | 13:18 | 2 Maret 2021 | asa mengabhu