Hari ini untuk yang ke- sekian kalinya Gracia melangkahkan kakinya ke depan gerbang rumah bercat putih dengan dekorasi rumah bernuansa Asia-Eropa yang terlihat sangat megah dan modern.
Gadis berambut sepinggang yang rambutnya kini di ikat satu kucir kuda itu menekan bel sekali lagi berharap orang yang dia tunggu- tunggu kehadirannya menyambut nya dengan baik dan mengabulkan suatu. Harapan.
Saat gerbang rumah yang menjulang tinggi itu di buka rasa takut Gracia semakin menjadi dalam dirinya, banyak hal yang dia takutkan salah satunya---
"BUAT APA KAMU KESINI LAGI?!"
Diusir.
"Gracia hanya ingin. Bertemu dengan papa," ucap gadis itu dengan nada suara yang seperti tertekan.
"Memangnya saya pernah menganggap kamu anak saya?!" Suara datar nan berat milik Gibran--ayah Gracia lagi -lagi menghancurkan sebuah harapan yang bahkan sudah dibangun beribu kali.
Gracia sudah membangun harapan itu. Bahkan sedari kecil.
"Memangnya apa salah Gracia pah. Dengerin cerita Gracia, dulu saat anak seusia Gracia selalu membangga-banggakan orang tuanya, Gracia hanya selalu mengarang cerita tentang kehidupan keluarga Gracia yang sangat bahagia. Papa tau kenapa? Karena Gracia berharap suatu saat itu akan terjadi pada Gracia juga." Gadis itu menarik nafasnya lelah.
"Dan setiap Gracia datang ke hadapan papa. Kenapa justru selalu orang yang sangat Gracia harapkan kehadirannya, yang lagi-lagi menghancurkan harapan Gracia pah, kenapa? Kenapa kalian begitu egois. Apakah salah kalo Gracia ingin seperti mereka yang bahagia dengan kedua orangtuanya?"
Gibran masih tidak bicara, tidak juga mengusirnya.
"Apakah kelahiran Gracia hanya sebuah kesalahan?"
Deg
"BENAR! KELAHIRAN MU HANYALAH SEBUAH KESALAHAN, DAN SAYA TIDAK PERNAH MENGHARAPKAN ITU!"
Bagaikan disambar petir di siang bolong. Mengapa ada seorang ayah yang tega berbicara seperti itu kepada anaknya? Belum puaskah dia sudah menghancurkan hati anak gadisnya dari kecil? Dan sekarang dengan pengakuan seperti itu,kata itu ... sungguh kenapa rasanya berkali-kalu lebih sakit dari sebelumnya.
"Kenapa ada seorang ayah yang tega berbicara seperti itu?" Gracia menghapus kasar air matanya." Jika Gracia adalah sebuah kesalahan. KENAPA KALIAN MELAKUKAN KESALAHAN ITU?"
"JANGAN BERANI MEMBENTAK SAYA!"
"MEMANGNYA KENAPA?!" Gracia tidak peduli. Yang Gracia inginkan sekarang hanyalah mengeluarkan semua unek-unek nya.
"Apakah kamu tidak pernah diajarkan sopan santun?!"
Seketika Gracia terkekeh miris.
"Memangnya hidup Gracia sebahagia itu sampai ada orang tua yang mengajari Gracia apa itu sopan santun? memangnya ada orang di dunia ini yang memperhatikan Gracia? Merawat Gracia saat Gracia sakit? Membacakan dongeng saat Gracia hendak tidur, dan yang memeluk Gracia saat Gracia takut. Apakah ada?"
"Bahkan orang tua Gracia sendiri yang telah mengajarkan Gracia berbicara dan berprilaku kasar seperti ini." Gracia menormalkan suaranya yang semakin serak.
Sedangkan Gibran mengepalkan kedua tangannya dan sebisa mungkin tidak menatap mata yang terlihat rapuh, bahkan mungkin sudah kehilangan semangat hidupnya.
Gibran tau itu.
Tapi kenapa hatinya sekeras batu?
"Mama Gracia tidak pernah memberikan Gracia sebuah pelukan. Bahkan menanyakan kabar Gracia pun, tidak pernah, apalagi melihat wajah Gracia. Di dunia ini memang tidak ada yang menginginkan Gracia."
Gadis itu maju satu langkah dan menatap papanya dengan tatapan sendu.
"Pah, Gracia sakit. Papa mau kan peluk Gracia?" Gadis itu tersenyum penuh harap. "Beri Gracia semangat pah."
"Siapa yang peduli?! Saya tidak ingin punya anak dari orang gila seperti Mama mu sekarang pergi dari rumah saya!!"
"Gracia mohon pah. Gracia tidak ingin pulang dengan harapan yang lagi-lagi harus hancur. Gracia cape setiap kali harus membangun nya lagi."
"Harapan Gracia hanya ingin ngerasain di peluk papa dan diberikan semangat. Hanya itu. Tapi kenapa sangat terdengar mustahil di telinga Gracia pah. Kenapa?"
"Tolong Gracia pah, apa tidak ada rasa sayang sedikit pun di hati Papa buat Gracia?"
Tanpa menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan Gracia, Gibran masuk ke dalam gerbang rumahnya dan menutupnya keras.
"Pah Gracia belum sepenuhnya cerita. Masih banyak harapan Gracia yang harus papa tau, masih banyak penderitaan Gracia yang belum sempat Gracia ceritakan."
Sakit.
Selalu rasa itu yang Gracia rasakan. Hidupnya terlalu flat hari-harinya hanya selalu di dampingi dengan penderitaan, seolah dunia terlalu benci melihatnya bahagia.
Tidak mau berlama-lama di sana, Gracia akhirnya pergi dari depan gerbang rumah itu dia berhenti di pinggir jalan menunggu angkot lewat.
Drrttt
Handphone Gracia bergetar dan terdapat nama 'ka ferra' di sana.
"Halo ka ada apa?" tanya Gracia langsung pada intinya.
"Gue cuman mau bilang besok kan gue ulang tahun jadi sekarang gue dan Mama lagi siapin acaranya, dan untuk lo cepetan pulang. Gue butuh orang buat disuruh."
Tanpa memberikan kesempatan untuk Gracia menyela, ferra sudah mematikan sambungnya sepihak.
Gracia menarik nafas dalam, dan menghembuskan nya perlahan untuk mengontrol rasa sesak yang tiba-tiba.
Gracia tau. Semua orang juga tau. Bahwa besok juga.
Hari yang spesial untuknya.
•••••
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Game Of Destiny [END✓]
Roman pour Adolescentsselamat datang di kehidupan Gracia, dimana dunianya hanya seperti 'permainan' hari-harinya yang selalu di penuhi dengan harapan, sedangkan kebahagiaannya hanya seperti khayalan. __________________________ "Pah, Gracia sakit. Papa mau kan peluk Graci...