Fifteen

6 1 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Suasana berubah menjadi hening. Tiga orang itu menyaksikan detik-detik matahari tenggelam di garis pertemuan laut dan langit. Sangat memukau, pantulan rona jingga menghiasi kedua hal biru itu.

Zealire melempar asal kerikil kecil ke arah laut. Shaq duduk di atas batu besar, menatap lurus ke depan. Rambutnya berterbangan terbawa semilir angin sore. Sementara Doxi, saking bosannya dia menggali asal pasir pantai dengan batang kayu kecil yang dipegangnya. Jaraknya agak jauh dari Zealire dan Shaq. Huh, kenapa dia tidak pulang saja?

"Shaq, malam ini aku akan kembali mencari petanya." Zealire memandang Shaq, tatapannya sendu. "Kamu tidak perlu ikut, biar aku saja. Aku tidak mau terlalu menjadi beban untukmu."

Menoleh sebentar, lalu Shaq kembali mengalihkan pandangan. "Tidak. Bagaimanapun aku harus ikut, Zea. Kamu tidak bisa sendiri, aku yakin." Muka pria itu terkesan datar. Membuat Zealire merasa semakin tak enak hati.

Zealire menunduk, meremas-remas gaun putihnya. Entah mengapa dia merasa sangat ragu. Besok, hari terakhirnya. Apakah dia akan berhasil mendapatkan peta itu, sendirian? Dia yakin, tidak. Pasti butuh bantuan. Maka dari itu, mungkin harus terus bersama Shaq, apa pun keadaannya.

"Ikuti terus apa kataku, jangan membantah, Zea. Atau kamu malah akan bertambah menjadi beban." Shaq berdiri, menarik paksa lengan Zea. Tersentak, jarak mereka terkikis.

Brandalan bertato ini, kini wajahnya hanya terpaut satu jengkal dari wajah Zealire. Tampan, itulah yang ada di pikirannya. Tunggu, apakah Shaq akan menciumnya? Sungguh, jantungnya seperti hendak loncat saat ini.

"Zea," lirih Shaq. Embusan hangat yang keluar dari mulut Shaq bisa dirasakan oleh Zealire.

"I-iya?" Zealire mendadak gugup.

Anak rambutnya yang menutupi pelipis, disisipkan ke belakang telinga oleh Shaq. Lantas berkata, "Jangan pernah menjauh dariku, Zea. Aku tidak jahat seperti orang-orang yang pernah kamu temui saat pertama menginjakkan kaki di sini. Tolong, yakinkan hatimu."

"Apa karena penampilanku yang seperti maling? Ah, Zea, itu adalah masa laluku. Aku sudah lebih baik sekarang." Tiba-tiba, Shaq mencubit gemas hidung mancung Zealire. "Hei, hidung. Apakah kamu mendengar apa yang otak empumu bicarakan tentangku? Tolong beri tahu padanya, aku tidak seburuk itu."

Kekehan kecil keluar dari mulut Zealire, meskipun napas dan detak jantungnya masih tersendat. Dia mengatur ekspresi sebaik mungkin. "Kamu lucu."

Senang, itulah yang dirasakan Zealire. Ingin sekali dia memeluk tubuh tegap milik sang pangeran, lalu mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. Dia sudah yakin, Shaq adalah satu-satunya orang baik di sini. Doxi? Ah, Zealire masih ragu.

Zealire reflek memegangi dadanya, jantungnya berpacu kencang tak terkontrol. Mungkin seperti ini rasanya jatuh cinta. Jatuh cinta? Tunggu, apakah dia benar-benar jatuh cinta pada ... Shaq, si brandalan itu?

"Shaq, aku percaya padamu. Ayo berjuang bersama." Akhirnya, kata-kata itu keluar dari mulut Zealire. Shaq tersenyum penuh kemenangan.

"Hei!" Doxi berteriak. "Serasa dunia milik berdua, ya? Yang lain ngontrak," ketusnya seraya melempar batu ke arah air laut di dekat Zealire dan Shaq, membuat beberapa cipratan air mengenai mereka.

"Gaunku basah, Doxi!" teriak Zealire menatap sinis ke arah Doxi.

Shaq pun mengusap wajahnya yang terkena banyak cipratan air. "Sialan!"

Pembuat masalah itu mendekat menghampiri mereka. Menatap sinis balik pada Shaq di belakang Zealire.

"Kenapa? Aku tak akan merebut wanitamu. Ah, ralat, si Beban ini." Zealire terkejut, Doxi tiba-tiba menggenggam sebelah tangannya. "Sudah mulai larut, ayo pulang ke rumahku."

BLEEDPOOL: ZEALIRE VURBENT [SERIES 3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang