Koridor rumah sakit tampak ramai. Kursi-kursi besi berjajar rapi di sisi koridor. Kiki sudah berdamai dengan aroma-aroma yang tercipta di tempat ini. Sekarang dia sedang duduk di lobi utama gedung rumah sakit. Dia melirik secarik kertas yang tertulis angka enam puluh tiga, lalu menoleh pada layar monitor di dekat meja pegawai yang masih menunjukkan angka tiga puluh. Kiki menghela nafas. Mengira-ngira pada pukul berapa nomor antreannya akan dipanggil.
Kiki menyumpal kedua telinganya dengan benda berwarna putih dan memutar lagu dengan volume yang bisa meredam suara-suara dari luar. Begitu dirinya menginjak keluar dari pintu utama, angin berhembus menerpa wajahnya. Cuaca hari ini cukup cerah dengan matahari yang menggantung di atas kepala.
Kurang dari sepuluh meter sebelum Kiki menginjak rumput dari taman rumah sakit, seseorang telah menabraknya cukup keras sehingga Kiki terjatuh. Entah dari mana, cairan berwarna merah muda membasahi sebagian seragamnya.
"Padahal udah gue teriakin dari jauh. Lo malah tetap jalan. Gara-gara kuping lo bermasalah, skateboard gue jadi patah." ucap Maury dengan suara rintihan di sela-selanya.
Kiki menoleh pada gadis itu, menemukan sekotak susu yang tumpah. "Gue tanya, orang gila mana yang main skateboard di rumah sakit?" nada suara Kiki jelas terdengar marah, dia membenahi seragam sekolahnya yang basah sekaligus terkena debu.
Tangan Maury tampak sibuk merogoh saku celananya yang gombrong dan kusut, kemudian dia menunjukkan sebuah kartu pasien gangguan jiwa yang tertera jelas nama dan foto gadis itu. Kiki diam saja dengan wajah tertegun.
"Lagipula gue udah sering main di sini dan lo orang pertama yang gue tabrak." timpalnya sambil mengambil papan beroda warna birunya yang terbelah dua.
"Wow, suatu kehormatan karena gue udah jadi orang yang pertama lo tabrak," dia mengangkat kedua bahunya. "semoga lo ngga perlu cetak kartu pasien rawat inap gara-gara cedera parah."
Mata Kiki menyipit ke arah Maury, kemudian dia meraih tasnya dan bergegas pergi. Dia merasa tidak perlu lagi meladeni gadis menyebalkan itu. Dari belakang, Kiki bisa mendengar gadis itu memanggil dirinya berkali-kali, namun dia tidak mengacuhkannya.
Tiba-tiba saja sebuah roda mendarat di punggung Kiki. Laki-laki tujuh belas tahun itu habis kesabaran. "Sekarang lo maunya apa?"
"Lo minta maaf."
Kiki memutar matanya dan mendecak kesal. "Maaf." ujarnya dengan malas kemudian dia berbalik dan berjalan kembali ke taman. Selama enam meter kakinya melangkah ke taman, dia benar-benar tidak lagi mendengar suara gadis tadi. Kiki benar-benar merasa aneh dengan gadis itu. Kalau saja sejak tadi dia sudah menyatakan permintaan maaf, Kiki tidak perlu menerima lemparan roda skateboard milik gadis menyebalkan itu.
Dua hari setelahnya, Kiki berniat kembali ke rumah sakit setelah pulang sekolah, seperti halnya yang biasa dia lakukan selama dua minggu kemarin. Di koridor rumah sakit, Kiki melihat gadis yang menabraknya dua hari lalu. Dia tampak asik menikmati susu stroberi yang persis dia minum waktu lalu. Begitu gadis itu melihat dirinya, Kiki langsung membuang pandangannya ke sembarang arah seolah dia tidak melihat gadis itu. "Elo?!" gadis itu memekik cukup kencang, orang-orang yang berlalu-lalang menoleh dibuatnya.
Kiki bergegas melaju, berharap tubuhnya lenyap ditelan keramaian. Namun, gadis itu terlalu cepat hadir di depannya. "Jangan halangi gue." Tanpa basa-basi, Kiki melangkah maju mengabaikan gadis dengan sekotak susu di tangannya.
Dengan gerakan yang lincah, Maury memblokir pergerakan Kiki, meraih tangan kanan laki-laki itu dan memberikannya pin. "Sama-sama, Aidan Alinsky." seringai manis terukir di wajah Maury.
Kiki menatap Maury dengan jengkel. Gadis itu membuatnya kesal sejak dua hari yang lalu. Sekarang gadis itu mengetahui namanya, karena pin nama miliknya terjatuh pada insiden kecil kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekotak Susu dan Mimpi-Mimpi di Utara
Short StoryTentang mimpi-mimpi di pulau api dan es