🕊. ―fourty ninth

199 29 15
                                    

Hari ini Dokter bilang, Hani sudah bisa pulang. Tepat sehari setelah pertengkaran super hebat Ayah dan Ibunya terjadi. Hani yang malang, semoga kedepannya anak itu bisa mengerti apa yang sudah terjadi. Ayah dan Ibunya berpisah demi kelangsungan hidup bahagia seluruh anggota keluarga mereka.

Usai memasukkan beberapa pakaiannya dan barang-barang Hani ke dalam koper, Sojung segera keluar kamar dan turun melangkahkan kakinya ke lantai bawah. Dia hampir keluar tanpa bertemu suaminya, tapi semua gagal saat suara berat khas milik suaminya memanggil namanya dengan nada rintihan.

Wanita itu lantas berbalik, melihat bagaimana hancurnya penampilan suaminya. Sojung menghela napas, berusaha untuk tetap pada pendiriannya. Dia tidak boleh goyah. Keputusannya sudah bulat. Sama sekali tak bisa diganggu gugat.

"Aku pergi sekarang, ya? Hani udah boleh pulang. Tapi nanti aku nggak balik ke sini, aku pulang ke rumah orang tuaku," kata Sojung disertai dengan senyuman tipisnya di akhir kalimat.

Seokjin berjalan lagi, mendekati Sojung. "Kenapa nggak pulang lagi ke sini? Ini ... rumah kita, Sayang. Ini tempatmu, kenapa harus pergi?"

Sojung meninggalkan kopernya. Dia berjalan mendekat menghampiri Seokjin. Hatinya sudah ia persiapkan sebelumnya, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Senyuman tipisnya berusaha ia tunjukkan pada Seokjin. Wanita itu memegang bahu lebar suaminya, kemudian berkata, "Kalau kamu mau ketemu Hani setelah ini, silakan dateng kapanpun. Aku nggak pernah ngelarang kamu buat ketemu bayi kita. Jadi, dateng kapanpun kalau kamu rasa kamu kangen sama Hani."

Satu tetes air mata Seokjin jatuh begitu saja. Tatapannya kosong sekarang, seperti Sojung kemarin. Tangan ringan Sojung sekarang bergerak untuk menghapus jejak air mata di wajah suaminya. "Seokjin, kamu nggak boleh nangis kayak gini. Kita masih bisa ketemu, yang beda cuma kita nggak tinggal satu atap lagi, kita juga nggak saling memiliki."

Tak mau peduli setiap kalimat yang Sojung ucapkan, Seokjin masih mematung dengan air mata yang kian deras mengalir. Wanita itu lantas menghentikan air matanya dengan kecupan di pipi Seokjin yang ia berikan.

"Ini mungkin untuk yang terakhir kalinya," kata Sojung. "Aku beruntung, bisa kenal dan sempet diizinin untuk jadi istri kamu selama setahun belakangan ini."

Sekali lagi, wanita itu mengecup bibir Seokjin untuk yang terakhir kali. Namun, saat hendak menjauh, Seokjin malah menekan tengkuknya, memperdalam dan berusaha menahan apa yang sedang terjadi sekarang.

Langkah kakinya turun dari mobil hitam metalik. Wanita itu telah berpesan bahwa dia tak akan terlalu lama. Dia hanya akan menjemput anaknya, berpamitan pada mertuanya, lalu kembali lagi untuk pulang ke rumah lama; rumah masa kecil dan dewasanya sebelum dia dipinang oleh pria yang sebentar lagi menjadi mantan suaminya.

Sojung berjalan cepat, menuju kamar rawat inap Hani. Perawat yang menjaga memberikan ucapan selamat karena akhirnya Hani diperbolehkan untuk pulang hari ini. Selama beberapa hari ini, Sojung berterimakasih kepada para perawat dan Dokter yang sudah mau berusaha untuk kesembuhan putrinya; Hani.

"Sehat-sehat terus ya, Hani. Jangan balik ke sini lagi karena sakit," pesan perawat perempuan pada bayi yang sedang ia gendong.

Tangan Sojung menyambut Hani ketika perawat mengembalikan anak itu pada Ibunya. Dia tersenyum dan membalas pesan perawat. "Iya, terimakasih ya, Sus, udah jagain Hani selama di sini. Sampein salam saya aja ke Dokter Jo, saya nggak bisa nunggu dia buat ngucapin terimakasih karena buru-buru."

Perawat mengangguk. Kemudian Sojung diantar sampai depan pintu kamar. Wanita itu berjalan, menuju resepsionis. Dia akan mengurus semua administrasi Hani dan bertanya di mana ruangan Fany, mengingat anak itu kemarin terserang alergi karena kelalaiannya.

Begitu selesai semua urusannya, Sojung langsung menuju kamar rawat Fany. Dia tersenyum saat menemukan orang yang dia cari di sana. Wanita baya itu sedang menyelimuti Fany tadinya, namun, saat sadar Sojung bersama Hani datang, dia tersenyum dan menyambut menantu serta cucunya itu.

"Bu, saya dateng ke sini buat ngomong berdua. Berhubung Fany tidur, kita ke kantin sebentar bisa?" Sojung langsung mengungkapkan tujuannya datang kemari, tanpa mengeluarkan kalimat basa-basi.

Di kantin, mereka duduk berhadapan. Raut Wajah Ibu Seokjin tampak khawatir, Sojung sadar akan itu. "Ada apa, Jung? Seokjin nganiaya kamu lagi di rumah?"

Sojung menarik kedua sudut bibirnya ke atas, dia menggeleng kemudian. Wanita itu membenarkan posisi kepala Hani yang tertidur nyenyak di pundaknya sejenak, kemudian kembali pada fokusnya. "Seokjin nggak ngapa-ngapain lagi setelah kami di rumah. Saya mau minta maaf ... mungkin ini usaha terakhir yang bisa saya lakuin, untuk kebahagiaan Fany, Seokjin dan keluarga kami. Saya mau pamit, Bu. Saya dan Seokjin ... secepatnya akan berpisah."

Mata Ibu Seokjin membelalak terkejut, dia bahkan sempat menutup mulutnya saat itu. "Sojung, kamu serius?"

Sojung mengangguk yakin. "Maaf, Bu. Saya udah nggak bisa pertahanin rumah tangga saya dan Seokjin lagi. Ini keputusan yang bisa saya ambil setelah merenung dan memutar ulang semua hal yang sudah terjadi satu tahun belakangan ini."

Ibu Seokjin menghela napasnya. "Ibu sedih, karena kamu nyerah sekarang. Tapi biar bagaimanapun, Ibu percaya kalau keputusan kamu adalah yang terbaik buat kamu dan Seokjin. Ibu harap, hal ini bisa mendewasakan kalian berdua nantinya."

Sojung tersenyum getir. Bohong kalau dia tidak juga menyayangkan apa yang menjadi keputusannya. Tapi mau bagaimana lagi, kesabarannya sudah melewati batas. Sojung tidak mau disalahkan lagi oleh Seokjin, apalagi sampai harus adu mulut hampir di setiap malam.

Rasanya ... benar-benar melelahkan. Seokjin yang dulu mencintainya, tidak lagi pada jati dirinya.

"Ibu jangan khawatir, kapanpun Ibu kangen sama Hani, Ibu bisa dateng ke rumah," kata Sojung dengan senyumannya, berusaha menghibur Ibu mertuanya yang jelas tampak kecewa. "Ibu masih bisa hubungi saya kapanpun. Kita masih bisa kumpul, yang beda mungkin status. Saya bukan lagi menantu Ibu. Tapi Hani, dia tetep cucu Ibu. Jadi, saya nggak akan pernah larang Ibu atau Seokjin buat ketemu Hani meskipun surat keputusan dari pengadilan udah keluar."

Ibu Seokjin meraih tangan menantunya. Dia memaksakan senyumannya. "Selama ini, kamu udah ngelakuin semuanya dengan baik. Walaupun akhirnya kamu harus menyerah, Ibu tetep bangga, Ibu bersyukur, karena kamu sempet jadi menantu Ibu."

Dua wanita itu berdiri, menjauh dari meja. Kemudian Ibu Seokjin memeluk Sojung, sambil menghembuskan napasnya dalam. Usai itu, dia mencium pipi cucunya dari sisi samping Sojung. Memerhatikan sebentar wajah cucunya dalam-dalam. Hani yang malang, Ayah dan Ibunya akan bercerai dalam waktu dekat. Semoga kedepannya, anak perempuan itu bisa menerima apa yang menjadi alasan kedua orang tuanya berpisah.

"Saya duluan ya, Bu? Ayah udah nungguin di parkiran," kata Sojung pada Ibu Seokjin.

Wanita baya itu mengangguk. "Salam buat orang tuamu ya, Jung. Ibu juga minta maaf, atas nama Seokjin."

Sojung mengangguk. Wanita itu melanjutkan kembali jalannya, tangannya sesekali mengelus bahu Hani yang sedang terlelap. Sojung bernapas lega. Entah ini keputusan yang salah atau benar, Sojung harap kehidupannya setelah ini bisa bahagia. Walau hanya berdua dengan Hani; bayi lucu yang Sojung cintai sejak hari kelahirannya.

― ♡ ―

Author's Note;
benang merah yang ngelilit kelingking sojung-seokjin makin ketarik😭 kira-kira, benangnya beneran putus apa nggak?
si bapak, kira-kira bisa ga ya ngejaga benang itu biar ga beneran putus😭

yuk, bantu buka alur-alur di part selanjutnya dengan rajeen tekan bintang</3

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang