"eh Nia, Lo udah ngerjain tugas pak Boby?" Tanya Fika dengan tiba-tiba.
"Udah. Semalem balik dari cafe langsung ngerjain." Jelas Kania.
"Rajin banget sih Lo, gue yang di rumah aja mager ngerjainnya!" Keluh Fika.
Kania hanya menggelengkan kepalanya. Sudah biasa baginya jika Fika mengeluh.
"Ke kantin aja yuk. Laper hee!" Cengengesnya. Soal makan nggak usah ditanya, pasti Fika jagonya.
Kania dan Fika berjalan menuju kantin yang di dekat fakultasnya.
Saat sedang berbincang, tiba-tiba ada yang menabrak Kania.
"Lo nggak apa-apa Nia?" Tanya Fika sambil menolong Kania.
"Nggak apa-apa kok. Saya bisa sendiri." Tolak halus Kania.
"Kalau jalan tuh pakek mata! Liatnih temen gua, untung kagak pincang!" Teriak Fika melebih-lebihkan.
"Eh Munaroh! Jalan tuh pakek kaki, lo aja jalannya pakek kaki kan? Lagian, temen Lo aja nggak sewot tuh!" Jengkel sang penabrak.
"Kenapa jadi gue sih!" Geram Fika.
"Lo nggak papa Kania?" Tanya Daniel. Ya, yang menabrak Kania adalah Daniel.
"Lo kenal sama ni bocah?" Heran Fika.
Belum juga Kania menjawab, namun sudah dipotong Daniel.
"Eh gue bukan bocah ya. Tapi gue bisa bikin bocah!" Bangga Daniel.
"Eh mulut Lo ya, minta diberi cabek!" Pelotot Fika.
"Jangan macem-macem ya Lo Munaroh!"
"Udah-udah nggak usah berantem. Nanti jodoh loh!" Kekeh kania.
"Ogah!" Bantah mereka bersamaan.
"Kita ke kantin aja yuk Nia! Males ngeladenin bocah!"
Lalu Fika dan Kania meninggalkan Daniel cs. Begitu pula dengan daniel cs.
~~
"Aku membawa berita baik dan buruk!"
Suara dari seseorang menyadarkan lamunannya.
"Apa yang kamu bawa?"
"Silahkan dibaca! Ini mapnya! Jika mau lebih jelas, sesuatu di ujung bukit arah mata angin!" Setelah mengatakan hal itu, pria tersebut langsung pergi meninggalkan teka-teki yang membuat seseorang kebingungan.
"Dimana aku harus menemukannya?" Ucapnya dengan frustasi. Sudah sangat lama ia memikirkan ini.
"Aku tak akan menyerah!" Serunya dengan semangat.
"Sesuatu di ujung bukit arah mata angin?" Herannya.
Ketukan pintu menyadarkan lamunannya.
"Bingung?" Tanya seorang pria.
"Jelas." Cueknya.
"Bukan tempat terbit!"
Lalu pria itu meninggalkan sang pemikir yang sedang frustasi.
"Apa cuma saya yang tidak tahu apa-apa?" Herannya.
"Bukan tempat terbit? Apa mungkin, ini kelanjutan yang tadi?"
"Jika ini kelanjutannya, berarti, sesuatu di ujung bukit arah mata angin tapi bukan tempat terbit?" Sambungnya.
"Timur?" Tanyanya kepada diri sendiri.
"Tapi bukan tempat terbit, tenggara? Atau, timur laut?"
"AHHHHH" Teriaknya melampiaskan emosi.
~~
"Katanya ada anak kost baru ya Nia?" Tanya Fika setelah dia menghabiskan satu mangkok baksonya.
"Iya Fik!"
"Orangnya gimana?" Tanya Fika penasaran.
"Nggak gimana-gimana." Acuh Kania.
Fika hanya mencebik kan bibirnya kesal.
"Kok Lo kenal sih sama Daniel?" Akhirnya Fika menyuarakan rasa penasarannya.
"Ketemu di cafe tempat kerja!"
Lalu mereka hanya terdiam tak ada lagi pembicaraan.
"Lo kok diam aja sih pas ketemu sama Kania?" Tanya Daniel kepada Leo.
"Rasanya gue nggak asing sama wajahnya." Sahut Leo.
"Perasaan Lo aja kali. Di dunia kan emang banyak yang mirip." Jawab Gilang.
Daniel, Leo dan Gilang merupakan sahabat sejak SMP. Mereka tidak pernah pisah, bahkan orang tua mereka saling mengenal dengan baik. Bahkan mereka seperti saudara kandung jika sudah bertiga.
Mereka sudah mengenal karakter pribadi satu sama lain.
Dari jauh, seorang pria yang sedang menyamar memantau pelosok kantin. Entah siapa yang dilihatnya, hanya dia, dan Tuhan saja yang tahu.
"Orang yang menikam adalah orang yang menyembuhkan!" Lalu, dia pergi begitu saja tanpa seorang pun yang tau keberadaannya.
~~
Seperti biasa, sepulang dari kampus Kania langsung pergi ke tempat dia bekerja. Menebar senyuman khasnya adalah hal rutin yang harus dia lakukan. Senyum itu ibadahkan?
Jika kita memang tak mampu untuk membahagiakan diri sendiri, cukup berikan senyuman kepada orang lain. Melihat mereka kembali tersenyum, adalah suatu kebahagian tersendiri yang kita dapat.
Berbagi senyuman adalah kebaikan. Melihat mereka tersenyum, adalah kebahagiaan. Walau tak pandai menghibur diri sendiri, menghibur orang lain akan lebih bergunakan? Banyak orang yang mampu menghibur orang ramai, namun tak mampu menghibur dirinya sendiri yang diterpa kesedihan. Melihat tawa mereka dia bahagia, namun di tengah kesendirian selalu merasa kesepian.
"Nia, kamu gantiin mbak sebentar ya. Mau ke toilet dulu!" Kania yang baru saja selesai mengganti baju langsung bergegas menggantikan sang kasir, yaitu Resti.
"Berapa semuanya mbak?"
Kania yang menunduk, spontan saja mengangkat kepalanya dan seketika terkejut.
"Terasa tak asing, namun siapa?" Batin keduanya.
Tanpa mereka sadari, memang mereka bukan orang asing. Terlalu banyak kenangan yang terukir di kehidupan kelam masa lalu. Belum ada yang mengingat jika tak diingat. Mungkin inilah yang dinamakan perjalan takdir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Rindu (Hiatus)
General FictionJujur, aku merindukannya. Sangat-sangat rindu terhadapnya. Baginya, aku adalah hujan. Disaat dia berjalan, dia akan singgah, atau justru ia menebus air untuk menuju tempat pulang.