Sesuatu yang aku sadari setelah mengalami pengalaman hampir mati adalah perspektif baru tentang hidup. Aku lebih menghargai hidupku yang ternyata bisa berakhir kapan saja, lebih menghargai orang-orang disekitarku. Setelah hari itu aku bahkan baru menyadari kalau kini aku berpikir menggunakan aku-kamu dibandingkan gue-lu, yang aku pikir harusnya sudah kulakukan sejak lama. Bukan karena aku ingin merubah jati diriku, tapi lebih ke menerima fakta bahwa Gema yang itu sudah mati. Entah karena aku pikir Ragil Mahzar membunuh aku yang itu, atau karena Ragil Mahzar telah menjadi bagian dari diriku. Apapun alasannya, aku ingin menjadi aku yang baru.
"Sudah sampai," katanya menyadarkanku yang masih berjalan menubruk dadanya. Luca berdiri di hadapanku dengan kening berkerut dan kedua tangan tetap di saku jaket tebalnya. Dia sepertinya tau pikiranku sedang melanglang buana.
"Ma... mau mampir?" Tanyaku aga ragu.
"I thought you'd never ask. Sudah berapa lama aku anter kamu? Akhirnya disuruh masuk juga..." Nadanya mencemooh. Entah kenapa aku segan saja mengajaknya ke rumahku. "Apa itu artinya kamu juga mulai membuka hati kamu buat aku?" Aku tak menjawab. Dia yang menyadari itu langsung tertawa dan mengacak-acak rambutku dan berkata kalau dia suka melihatku ketika aku tak bisa berkata-kata.
Ketika memasuki rumahku, aku buru-buru berlari ke ruang tamu membereskan baju yang menumpuk di sofa dan membawanya ke kamar tidur. Luca tampak memperhatikanku dengan geli saat aku menutup pintu kamar dan menunjukkan deretan gigiku.
"Duduk, duduk. Maaf ya berantakan. Mau minum apa?"
"Air putih aja," katanya melepas jaketnya dan menggantungnya di gantungan dekat pintu. Kemudian ia duduk di ujung sofa dan menaruh tasnya di lantai sambil celingak-celinguk. "Eh bukannya udah hampir berapa, tiga bulanan kamu pindah ke sini?"
Aku keheranan dengan pertanyaan itu. Ku letakan gelas berisi air putih di atas meja dan duduk di kursi yang terletak di sebelah sofa. Luca menggeser tubuhnya ke ujung lain sofa, menjauh dariku.
"Emangnya kenapa?"
"Kamu belum sepenuhnya unpack." Aku merasa malu. "You know you dont have to unpack your emotional baggage along with your actual baggage, right?" He roasted me right there, right at that moment. "Seriously kapan kamu mau ngasih tau aku?"
"Kasih tau apa?"
"Your damage. What is your damage?" Dia meneguk air dari gelas tanpa mengalihkan pandangannya dariku, menungguku menjawab.
"Maksud kamu?"
"Bukannya kamu datang ke sini untuk lari?" Lagi-lagi dia mengatakan hal seperti itu seperti sesuatu yang biasa, sementara aku merasa seperti ditampar. "Kamu jauh-jauh pindah ke Italia, tapi kamu belum unpack barang kamu karena kamu masih merasa ga ada yang berubah. Here or there perasaan kamu masih sama. Tell me, who is this bastard that made you like this?"
Luca can see right through me.
"Ceritanya aga rumit..."
"I have all the time in the world, dont worry..."
Aku hanya terduduk di sana membisu. Luca menaruh tangan kanannya yang terkepal untuk menopang pipinya, menungguku dengan sabar tapi tatapan matanya seakan menyesal telah menanyakan hal itu padaku. Ketika mataku mulai panas dan berair, secara perlahan aku mulai menceritakan apa yang telah ku bendung selama ini.
"Aku besar dalam keluarga kecil, aku memiliki dua orang kaka laki-laki. Ayahku seorang dokter, seperti kamu. Begitu juga kedua kakaku. Oleh karena itu hidup dibawah bayang-bayang mereka cukup sulit bagiku, karena aku mau jadi arsitek seperti kakeku. Ayahku seseorang yang sulit sekali dipuaskan, ketika aku tak juara satu atau tak terpilih dalam olimpiade misalnya dia akan murka. Awalnya dia hanya akan memecahkan piring atau merobek buku-bukuku tapi lama-kelamaan dia tak puas dengan itu semua dan dia akan memukulku, menendangku. Dan ketika melakukan semua itu dia akan meminta kedua kakaku untuk berjaga di depan kalau-kalau ibuku pulang. Mereka tak punya pilihan karena mereka juga akan menjadi sasaran. Kalau ibuku melihat aku menangis dan babak belur, mereka akan memberitahu cerita yang sama bahwa aku berkelahi dan ayahku baru saja memarahiku karena itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kintsukuroi
RomanceEmpat tahun lalu, Gema Bimana ditinggalkan oleh cinta pertamanya. Suatu hari dia mendapatkan sebuah pesan dari orang itu. Tanpa sapaan, tanpa menanyakan kabar, tanpa basa-basi, orang itu datang kembali seperti hujan yang tak sama sekali diramalkan...