***
Every good conversation starts with good listening - sebuah ungkapan sederhana yang kadangkala sering dilupakan dalam implementasinya. Menurut Goldsmith, communication is the process of transmitting a message from a sender to a receiver. Dimana artinya, ada dua pihak yang sama pentingnya dalam sebuah proses komunikasi, yakni si pembawa pesan dan sang penerimanya.
Realitanya, banyak orang yang tidak mampu untuk pay attention to the message sehingga menimbulkan pemahaman yang agak berbeda dari sisi pemberi dan penerimanya. Padahal, a good listener summarize conversation when they end and lets the sender know his or her message was heard by gesture. Dan jika komunikasinya ternyata hanya berjalan satu arah, bagaimana bisa hal tersebut terjadi?
***"Ren, lo dengerin gue nggak sih?" Kesalku karena dia sedari tadi hanya mengangguk-angguk atas apa yang aku katakan.
Lest see about her gesture, there are only two option yang bisa menjelaskan perilakunya itu. Benar-benar paham akan apa yang aku ceritakan, atau hanya mengangguk-angguk tanpa makna yang ia sedari tadi lakukan. "Denger, Na. Gue!!" Jelasnya sembari meletakan ponselnya di meja yang memisahkan kami berdua.
Saat ini aku dan Rena sedang berada di salah satu coffeshop yang tidak jauh dari rumahku. Sengaja mampir sebentar setelah mengahabiskan waktu mengelilingi mall untuk merefresh diri dari kepenatan yang kita sebut sebagai - girls day out. "Intinya elo lagi bingung kan, mau join ukm apa enggak?" tanyanya sambil menaikturunkan alisnya, seolah meledekku bahwa asumsiku barusan memanglah tidak benar adanya.
Mataku mengerjab dua kali, "Multitasking banget ya Ren, elo." Responku saat menyadari bahwa semua informasi-informasi yang aku sampaikan padanya tidak ada yang terlewat.
Dia hanya tertawa. "Na, dengerin gue," Ucapnya sambil memajukan kursinya lebih mendekat ke arah meja.
"Ini serius, jadi please dengerin, " Seketika aku ingin tertawa mendengar penuturannya.
Aku mengangguk-angguk mengiyakan, "Life with other expectation is not healthy, dan lo paham betul soal itu. Kita nggak bakal bisa buat memenuhi semua ekspektasi semua orang tentang kita. This is our own life, dan cuma kita juga yang punya kendali penuh to make decisission yang akan kita ambil nantinya." Jelasnya yang aku dengarkan baik-baik.
"Tapi kita nggak hidup sendiri di dunia, Ren." Jawabku menyanggah argumennya.
"Yaa, of course Na. Gue juga tahu soal itu. Gue juga tadi nggak bilang kan kalo elo harus nggak ngedengerin semua pendapat orang soal elo. This is different by the way, dalam konteks ini yang gue maksud adalah ekspektasi orang-orang diluar cyrcle keluarga deket lo tentunya."
"Lo bingung cuman gara-gara nggak mau dibandingin sama sodara-sodara elo yang hobi jadi aktivis itu kan?" Lagi-lagi aku mengangguk menjawab pertanyaannya.
"Coba renungin, apa coba yang sekiranya bakal elo dapetin kalo misalnya lo ambil pusing pendapat-pendapat mereka soal itu? Lo cuma bakalan overthinking, berusaha buat jadi apa yang mereka harepin meski pada faktanya nggak sesuai sama apa yang hati lo penginin."
"Na, its okay to be different. Jangan maksain apapun yang sebenernya nggak pingin elo lakuin." Lanjutnya yang di akhiri dengan menyedot minuman di depannya.
"Gue tau, Ren. Paham banget juga gue soal ginian. Cuman, gimana ya.... kayak ada yang masih jadi beban gitu loh," Jelasku padanya.
"Kadang gue ngerasa diri gue sendiri juga ada keinginan buat cari kesibukan di luar kuliah gitu. But at the same time gue juga ngerasa kalo jadi sibuk itu kesannya kayak bukan gue banget ..."
Kulihat Rena tersenyum, "Itu nggak cuman dialamin elo doang kali, Na, Gue juga nggak ngerasa nggak jauh beda sama elo."
"Mungkin juga karena kita baru masuk awal dua puluhan tahun gitu kali ya? Jadi emang masih ada di fase-fase pencarian jati diri gitu. Apa ya namanya?" Tanyanya sambil mengetuk-etukkan jariya di atas meja.
"Quarter life crisis," Ucapku memberikan jawaban atas pertanyaannya barusan.
"Nah, itu Na maksud gue," Responnya begitu bersemangat. Lalu bergegas mengambil ponselnya kembali dan mengetikan entah apa di layarnya.
"Denger baik-baik nih, Na. Gue cari di wikipedia nih soal yang barusan itu. Quarter Life Crisis atau krisis usia seperempat abad merupakan istilah psikologi yang merujuk pada keadaan emosional yang umumnya dialami oleh orang-orang berusia 20 hingga 30 tahun seperti kekhawatiran, keraguan terhadap kemampuan diri, dan kebingungan menentukan arah hidup. Krisis ini dipicu oleh tekanan yang dihadapi baik dari diri sendiri apun lingkungan, belum memiliki tujuan hidup yang jelas sesuai dengan nilai yang diyakini, serta banyak pilihan dan kemungkinan sehingga bingung untuk memilih. Dibandingkan degan krisis kehidupan yang sering ditandai dengan perasaan gagal untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang diinginkan, quarter life crisis lebih condong pada kenyataan bahwa seseorang belum memiliki tujuan yang jelas dalam hidupnya atau memiliki tujuan yang tidak realistis, gitu Na," Ucapnya dengan menggebu-gebu.
Lagi-lagi aku hanya mengangguk-angguk, "Ren, kerasa nggak sih kalo obrolan kita berat banget dari tadi?"
"Lah iya ya ..." Dan seketika kami berdua tertawa menyadari seriusnya pembicaraan kami barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Point Out
Literatura Feminina"Kalo gue nggak salah inget, lo udah ada cewek kan pas pertama kali kita ketemu?" "Baru putus kemaren, " Jelasnya tanpa ku minta "Wow. lancar banget ya ngomongnya." Lagi-lagi aku berdecak kagum mendengar ucapannya. Dia benar-benar manusia langka ya...