Jika kalian kira seorang calon abdi negara—yang setara seperti Sekolah Intelijen—isinya adalah orang-orang kaku dan bermuka datar, maka kalian salah besar.
Entah sejak generasi ke berapa, tapi kenyataannya para taruna dan taruni di sekolah kedinasan itu hampir rata-rata isinya adalah para pelawak semua.
Mungkin karena backgound keluarga mereka yang dari Sabang sampai Merauke bersatu padu dikumpulkan pada sebuah bangunan megabesar yang terletak di atas gunung. Apalagi jika sedang berkumpul di ruang makan, kafe Waskita ataupun taman baca. Mereka akan gelar konser stand up comedy dadakan dengan beragam tema. Mulai dari kucing yang anakan di lab komputer, suara kentut yang terdengar di speaker mesjid, sampai membicarakan para tikus-tikus got yang berpakaian kemeja.
Soalnya ya ... mau bagaimana pun, ini sekolah kedinasan yang berada di bawah naungan Badan Intelijen. Pasti isinya bukan kaleng-kalengan. Oke lah, jika mulut sudah mendekati kaleng kosong, tapi otak tentu saja isinya penuh dengan telur caviar. Alias memang berisi oleh hal yang bermutu.
Salah satu taruna yang terkenal karena bacotan alaihimnya—yang terkadang sukses membuat acara stand up comedy meriah dibuatnya—serta menjadi omong-omongan oleh para dosen pemampu, akibat mulutnya yang kadang membuat orang ingin ambil benang steril dan menjahit mulut dowernya rapat-rapat. Orang itu yang tak lain yang tak bukan adalah Raka Dhaniswara.
"Dew, Bakso, bakso apa yang botak?" Raka berceletuk kala mereka berempat—Koko, Dewata, Nanda, dan Raka—sedang nongkrong di salah satu kafe milik keluarga Dewata di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.
"Apaan emangnya?" yang bertanya malah Nanda. Gadis itu baru selesai memotret suasana kafe yang sangat instagram-able bagi para penggila medsos. Tapi dikarenakan Nanda dan teman-temannya tidak mungkin mengumbar kehidupannya di dunia maya, karena status mereka yang sudah menjadi pegawai BIN sekaligus agen intelijen, alhasil gadis itu hanya sekedar memotretnya di kameranya untuk disimpan sebagai kenang-kenangan.
"Ya jawab lah!" ucap Raka. Pria itu menoleh ke arah pria yang sedang memakan salah satu menu fine dining—yang kebetulan tesedia di kafe milik kakaknya yang terkenal dengan kemewahan anak Jakarta—dengan santainya. "Dew, jawab Dew! Jangan ngunyah mulu, lo! Tuan rumah kok malah diem aja?!" ujarnya kepada pria itu.
"Ini kafe bukan rumah, Pe'a!" timpal Koko. Raka mendengkus, sedangkan Dewata masih santai memotong steak-nya dengan khusu. Tanpa peduli dengan pertanyaan Raka yang sebenarnya tidak penting-penting banget.
"Nyerah deh." Bukannya Dewata yang menjawab, tapi Koko. Raka mendengkus lagi. "Payah amat lo langsung nyerah! Pantesan kagak berani nembak si mbak-mbak perawat itu!"
"Oh ... mau nembak ceritanya nieh ... kok gak kabar-kabar sih, Bujang?" Nanda menggoda temannya itu.
"Apaan sih! Gak nyambung!" Koko mengelak. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa dan menghebuskan napasnya kasar. "Lagian juga, gue gak mau jawab teka-teki lo!"
"Kenapa tuh?"
"Males. Harus mikir jadi orang goblok dulu. Dan sayangnya gue bukan orang goblok!" jawab Koko. Dewata—si tuan kafe—yang sedari terdiam, langsung terkekeh.
Pria itu menjentikkan jarinya. "Bener banget. Gue bukan orang goblok. Jadi, gue males jawab pertanyaan lo."
Raka mengerucutkan bibirnya. "Sombong banget sih, lo! Mentang-mentang banyak duit—ya emang banyak duit, sih!" ucapnya seraya menggaruk belakang kepalanya.
"Yaudah, emang apaan jawabannya? Semua bakso botak kali, yakali ada rambutnya!" cetus Koko.
"Shit. I hate my mind." Nanda mengambil gelas minumannya dan meneguknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
yang baik belum tentu baik
AksiyonDisclaimer dikit: ini hampir 2 tahun lebih di-unpublish karena gaya penulisannya yang menurutku kurang. Sengaja dipublish lagi untuk mengenang perkembangan gaya penulisan gue yang dulunya suka sok ke-jaksel-jakselan. Aslinya mah orang Bogor wkwkw. *...