Dilemma 21

313 54 0
                                    

Kinan menatap datar layar ponselnya. Sekitar lima belas menit yang lalu, dia diundang ke dalam group chatting alumni SMA Trinitas angkatan 2011. Sebuah foto baru saja dikirim oleh ketua OSIS pada masa itu. Foto yang berisi undangan reuni di salah satu restoran di seberang sekolah, daerah Ciroyom.

Memang, seharusnya Kinan senang dengan undangan reuni ini. Dia akan bertemu dengan teman-teman sekelasnya yang sudah sangat dirindukan. Namun, di sisi lain ada yang menjadi beban untuk Kinan. Ada sesuatu yang ia takutkan jika datang ke acara reuni itu.

Gimana kalau orang-orang di sana menghakimi gue kayak yang Chika lakukan waktu itu? Gimana kalau orang-orang bilang gue udah menusuk Aya dengan jadian sama Fabian? Gimana kalau mereka merendahkan gue?

“Teh?” panggil Ratih untuk kesekian kali. Dia memerhatikan wajah Kinan. “Teh Kinan enggak apa-apa? Aku perhatiin dari tadi, Teh Kinan melamun mulu. Terus, wajahnya juga pucat. Teh Kinan sakit, ya?”

Perhatian Kinan teralihkan seketika. Dia menyimpan kembali ponselnya dan tersenyum tipis pada Ratih. “Gue enggak apa-apa, kok. Cuma kurang tidur.”

“Kurang tidur juga bisa bikin puyeng, Teh. Aku punya permen obat masuk angin, Teh Kinan mau?”

“Gak usah, gak apa-apa. Gue ke toilet dulu, ya. Kayaknya, kalau udah cuci muka bisa lebih seger,” pamit Kinan.

Ia meninggalkan meja kerja. Langkahnya tertatih-tatih, kepala Kinan berputar-putar. Susah payah dia bisa mencapai toilet dan mencuci wajahnya di wastafel.

“Kenapa lo harus segininya mikirin Valya sama Fabian, sih, Ki?” tanya Kinan pada diri sendiri.

Perempuan berambut pendek itu terdiam, memerhatikan pantulan wajahnya di cermin. Jika bukan dengan bantuan concealer, sudah pasti semua tamu kabur melihat lingkar matanya yang hitam. Untung juga Kinan punya bold mascara sehingga matanya tidak terlihat sayu. Dia benar-benar tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan Valya dan Fabian.

Tidak bisa dipungkiri, Kinan takut jika mereka masih ada rasa untuk satu sama lain. Bukan rasa yang disembunyikan dan tumbuh diam-diam, tetapi rasa yang tidak disadari oleh mereka berdua. Mengingat bagaimana manisnya perlakuan Fabian pada Valya, Kinan jadi gamang sendiri. Dia takut kehilangan Fabian, takut ditinggalkan Valya, dan yang lebih besar adalah ... takut menyakiti mereka tanpa Kinan sadari.

“Aw!” pekik Kinan saat pusing di kepalanya semakin menjadi. Bahkan, pandangan Kinan juga mulai memburam. Ia menggeleng kuat, berusaha untuk memfokuskan pandangannya. “Lo gak bisa sakit, Ki. Lo masih harus kerja.”

Kinan membuka pintu dan kembali melangkah. Namun, tiba-tiba sebuah tangan menghalaunya. Dari aroma lautnya yang khas saja, Kinan bisa tahu siapa orang itu.

“Kok, muka kamu pucat gitu, Ki?” tanya Fabian.

Dia langsung menegakkan tubuhnya dan memerhatikan Kinan. Wajahnya pucat, bibirnya terus mendesis, tatapannya tidak fokus. Fabian meletakkan tangannya di kening Kinan.

“Kamu sakit, Ki. Badan kamu juga panas banget,” cetusnya. “Kita pulang aja, ya? Aku antar ke dokter. Nanti biar aku yang izin sama Bu Zahra.”

“Gak usah,” tolak Kinan sambil menjauhkan tangan Fabian dari keningnya. “Aku cuma kurang tidur, kok. Habis makan siang juga pasti seger lagi. Kamu enggak usah khawatir kayak gitu.”

“Gimana aku enggak khawatir kalau kondisi kamu aja kayak gini?” Fabian memegang bahu Kinan. Pandangannya lurus pada netra Kinan yang sayu. “Kamu mikirin apa sampai enggak bisa tidur? Cerita sama aku, dong, jangan dipendam sendiri.”

Tidak ada jawaban dari Kinan. Dia hanya terus membalas tatapan dalam Fabian dengan bibir yang mengatup rapat. Apa kamu bakal sekhawatir ini kalau Valya yang ada di posisi aku, Yan? Apa kamu juga akan selalu sedia untuk berbagi masalah sama Valya? Batin Kinan terus meneriakkan pertanyaan-pertanyaan yang semakin membuatnya sakit. Namun, sebisa mungkin dia tidak membuat Fabian khawatir. “Enggak mikirin apa-apa. Semalam lagi banyak nyamuk aja di kamar aku. Terus, obat nyamuknya juga habis.”

Sungguh, Fabian ragu dengan jawaban Kinan ini. Namun, dia tidak bisa memaksa Kinan untuk jujur, terlebih keadaannya memprihatinkan begini. Dia bergegas untuk melepaskan jas kerjanya. “Badan kamu panas. Aku gak mau kamu makin sakit. Jadi pakai jas aku dulu supaya enggak kedinginan.”

“Makasih,” singkat Kinan sambil menerima jas itu.

“Ngapain bilang makasih, sih? Ini udah kewajiban aku buat jaga kamu.” Fabian memakaikan jas birunya ke tubuh mungil Kinan. “Pokoknya, kalau ada apa-apa, kamu langsung telepon aku. Jangan sok kuat, nanti malah makin parah. Nanti juga harus makan sama aku, supaya kamu minum obat.”

Kinan mengangguk pasrah sambil terus menatap wajah Fabian. Laki-laki itu memang tidak banyak bicara, tidak mau tahu urusan orang lain, dan juga selalu memasang wajah datar saat bertemu orang baru. Namun, Fabian bisa sangat penuh perhatian dan cerewet saat orang-orang terdekatnya membutuhkan itu. This cold man will turn out to be warm when showing his affection.

***

“Ki, rok lo merah, tuh. Pakai jaket gue buat tutupin.” Fabian—mengenakan seragam putih abu sambil—menyerahkan jaket berlambang tim sepak bola kesayangannya—Barcelona—pada Kinan.

“Hah? Masa, sih?!”

Gadis itu langsung menengok ke belakang untuk memeriksa sendiri. Dan ternyata benar, ada lingkaran merah di sana. Kecil, tetapi akan terlihat jelas. Kinan langsung menempelkan tubuhnya ke tembok ruang guru.

“Aduh, gimana ini? Gue gak tahu kalau hari ini gue dapet.” Kinan menatap Fabian dengan penuh putus asa.

Fabian menarik tubuh Kinan dan langsung mengikat jaketnya di pinggang gadis itu. “Makanya, pakai jaket gue buat tutupin nodanya. Untung gue yang lihat, lo bisa habis kalau ketahuan sama cowok lain.”

“Keterlaluan juga kalau lo ejek sahabat lo gara-gara ini,” dengkus Kinan sambil mencubit pinggang Fabian. Dia tersenyum puas saat jaket sahabatnya itu bekerja dengan baik. “Makasih, Yan. Kalau bukan karena jaket lo, gue enggak bakal bisa ke kantin, deh.”

“Iya, iya. Yuk, buruan. Aya pasti udah nunggu di sana.”

Dengan penuh semangat, Kinan melangkah sambil menggandeng tangan Fabian. Tidak mudah untuk bisa sedekat ini dengan laki-laki dingin yang dulu selalu menatapnya tajam. Butuh satu tahun sampai mereka bisa saling mengerti satu sama lain. Dan Kinan tidak perlu khawatir akan dicap jelek oleh siswa lain, jelasnya disebut perebut pacar sahabat. Karena hubungan asmara Fabian dan Valya sudah berubah menjadi sahabat.

***

“Yan,” panggil Kinan.

“Hm?” gumam Fabian tanpa mengalihkan pandangannya. Dia masih sibuk untuk mengurus posisi jasnya. “Kenapa? Kamu mau ngomong apa?”

“Aku sayang kamu.”

Pergerakan Fabian terhenti seketika. Dia melirik Kinan, benar-benar memusatkan perhatiannya pada perempuan itu. Lalu, bibirnya perlahan terangkat. “Aku juga sayang kamu,” jawab Fabian sambil mengacak-acak rambut Kinan. “Aku cinta banget sama kamu, Ki.”

Kinan ikut tersenyum mendengar ucapan Fabian. Meski Fabian berbagi perhatian pada Valya, itu semua pasti hanya sebagai sahabat, tidak mungkin lebih. Dan Kinan juga percaya, Fabian tidak akan mengumbar kata cinta pada perempuan lain, hanya pada dirinya. Hanya pada Kinan.

*
*
*

Berat banget ya beban pikiran Kinan. Jadi, jangan coba-coba deh jadian sama mantannya sahabat. Bahaya!

Bini Ceye,
19.00, 01 Desember 2021.

00, 01 Desember 2021

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang