Olivia’s POV
Hal apa yang paling aku benci selain harus berada di rumah sepanjang liburan berlangsung? Jawabannya mudah. Hari pertama sekolah. Aku sama sekali tidak bersemangat mengingat kalau aku harus masuk. Daniel bahkan harus mengancamku terlebih dahulu, karena aku sudah tidak boleh ikut ekstrakulikuler, dia tidak mau melatihku secara pribadi lagi.
Sehari sebelum sekolah kuhabiskan dengan melatih tinjuku. Bahkan buku-buku jariku mulai berdarah, tapi aku sama sekali tidak masalah dengan itu. Samuel juga tidak memarahai atau memperingatiku. Layaknya orang yang tidak peduli. Well, dia memang tidak peduli, tapi seperti ingin berkata kalau aku sudah mengerti tentang basic dan lain-lain. Tidak seharusnya aku memaksakan diriku jika sudah mencapai limit.
“Besok masuk?” Pertanyaan Samuel hanya kujawab dengan anggukkan. Setelah kejadian itu, aku dan Samuel tidak banyak bicara, lebih parah dari sebelumnya. “Udah diberesin semua?”
“Udah diurus.” Samuel terdiam dan memainkan jarinya.
“Lu masih deket sama si Rachelle-Rachelle itu?”
Pertanyaannya itu seperti menusukku. “Nggak. Gua ngantuk, jangan ganggu.”
Satu-satunya cara untuk mengalihkan pembicaraan ini dengan kabur dari hadapannya. Lagipula waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh, di mana banyak yang sudah tidur, tapi tidak denganku. Mengingat besok aku akan masuk membuatku mual, mengganggu tidurku. Semua tatapan anak-anak itu, dan juga ucapan serta gosip yang mereka lontarkan dari mulut ke mulut. Itu semua menggangguku. Tidak, aku tidak siap dengan semua itu.
Apa aku bisa selamat? Semua yang dikatakan mereka adalah sebuah kebenaran. Tidak, aku sama sekali tidak kuat. Aku memang sampah, aku membunuh ibuku sendiri. semua orang membenciku, aku tidak pantas dicintai siapa pun, semua orang berhak merasa jijik dan membenci diriku. Semua perlakukan mereka itu, aku pantas untuk mendapatkannya, terlebih perlakuan dari Samuel.
Usahaku untuk tidur itu hanya sia-sia. Yang kulakukan hanya berbaring di atas kasur selama berjam-jam menatap kekosongan yang ada di hadapanku. Tubuhku kubungkus dengan selimut dan meski mataku sudah menutup rapat, semua yang kulihat hanya kejadian saat itu. Semuanya menghantuiku seperti ingin berkata kalau aku harus mengingatnya, membayar semua tindakanku.
***
“Hua, gua males banget! Belom siap ujian!”
“Gua juga! Moga aja sih gua bisa lulus dengan nilai baik.” Celotehan anak-anak terdengar di lorong begitu aku masuk ke dalam gedung sekolah.
“Eh, eh, liat tuh, si Olivia.”
“Kenapa ya dia nggak langsung keluar aja? Kalo gua jadi dia, pasti gua bakal berenti dari lama.”
Hentikan! Tolong hentikan! Hanya satu hari saja, tidak bisakah mereka membiarkanku sehari saja? Kenapa aku? Kenapa tidak yang lain? Apa salahku kepada mereka yang membuat mereka begitu benci kepadaku? Kenapa mereka memperlakukanku berbeda? Memangnya apa yang salah dariku? Kenapa? Kenapa, kenapa harus aku? Kumohon, hari ini saja, hentikan semua omong kosong itu.
“Tatapannya sok galak gitu.”
“Makin hari dia makin caper gak, sih? Liat tuh luka-lukanya.”
“Jangan-jangan dia abis bunuh orang lagi?”
“Ih! Serem banget! Jangan gitu lah!”
Sebuah helaan napas keluar begitu saja lewat bibirku. “Udah puas? Puas ngomongin gua?! Puas ngatain gua?!”
Tanganku terasa bergerak sendiri sehingga menonjok loker yang ada di samping anak-anak itu. Kutahan rasa perih yang muncul agar mereka tidak mencari-cari kesalahanku lagi. Yang kulakukan ini berhasil membuat mereka merasa takut sehingga satu per satu mereka pergi dengan berbisik-bisik satu sama lain. Anak lain yang juga menonton mengalihkan pandangan ketika kutatap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars To Your Beautiful {END}
Teen FictionEveryone has a story that they never tell others, even the closest person Tidak semua orang akan bertahan hidup dengan penuh tekanan, tidak terkecuali mereka. Tuntutan yang dimiliki oleh setiap manusia akan mengubah sikap setiap orang. Keinginan unt...