6. Filosofi Itu, Perwujudan Harapan 'kan?

7 1 0
                                    

Hai!
Makasih udah singgah di cerita Rasta dan Rowena. Semoga kalian menikmati cerita mereka
>_<

------------------------------------------------------------------------

"Wena tolong kancingkan lengan kemejaku sebentar"

"Sini..."

"Kau bisa memasang dasi?"

"Bisa, tapi simpul yang mudah saja"

"Pasangkan kalau begitu, yang penting rapi"

"Sebentar aku ambil dasinya dulu, kau ingin warna apa?"

"Menurutmu bagaimana?"

"Hitam atau biru tua?"

"Emm... Biru tua saja"

Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, sebab aku harus mandi dan bersiap lebih dulu sebelum Rasta bangun. Jika tidak begini, maka aku tidak bisa membantunya. Ya, alasan sebenarnya adalah aku tak mau Rasta melihatku saat bersiap siap. Aku masih merasa canggung dan asing.

"Sudah selesai, bagaimana?"

"Cukup bagus untuk pemula"

"Hei ini lumayan loh, bersyukurlah karna aku bisa"

"Berlatihlah lebih giat lagi"

"Baik Tuan Rastaaa"

"Haha... Kau persis seperti Martha"

"Hoo jadi aku seperti pelayan untukmu?"

"Tidak, tidak. Kau istri yang paling kuhormati"

"Membual saja, ayo sarapan"

Rasta ini sangat memyebalkan, saat bangun dia cerewet dan saat tertidur pun tetap saja berisik. Ternyata tidak ada jaminan pria tampan dan berkarisma sepertinya tidak mendengkur saat tengah malam.

Di meja makan sudah terhidang beberapa pilihan menu untuk sarapan, tapi hanya satu menu yang selalu Rasta makan, sementara aku setiap paginya mencoba menu baru karna semua masakan terlihat menggiurkan.

"Sepertinya aku harus berolahraga saat akhir pekan"

"Memangnya kenapa? Akhir pekan kemarin kau hanya tiduran saja"

"Kau lihat? Aku akan gendut jika terus terusan makan tanpa memikirkan berat badan"

"Tidak masalah Ro. Lagi pula kau wanita yang sudah bersuami, tidak perlu berusaha menjaga berat badan, toh aku tidak akan mecari wanita lain"

"Kau menikah lagi aku tidak peduli. Aku punya standar kehidupanku sendiri kau tau, terutama berat badan"

"Kalau kriteria suami, aku pasti melampaui standarmu 'kan? Ya sudah pastilah"

Hei, hei. Ada apa dengan senyum anehnya itu, juga pertanyaan konyolnya, bahkan dia sendiri menjawab dengan tingginya.

"Haha... Jangan terlalu bersemangat, kau bahkan tidak ada dalam kriteria pria yang akan menjadi temanku, apalagi sebagai suami"

"Jangan mengelak, aku tau, kau pasti malu untuk menjawab jujur, benar 'kan? Hah! Sudah kuduga"

"Tidak sadar diri, lupakan. Aku sudah selesai"

"Wah tega sekali, aku bahkan baru menggigit roti kejuku"

"Siapa peduli? Dasar lamban"

"Kau sendiri bahkan belum menyentuh sarapanmu, malah mengataiku lamban"

"...ugh, mengesalkan!"

"Haha... Wenaa, tunggu.."

Rasta memutuskan untuk menggunakan mobilku setiap kami pergi bersama, dan kini Troy selalu bersama kami saat berkendara.

Kita Rasa dan PercayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang