14. Mengakui atau Diakui sih?

6 3 0
                                    

"Kadang, kita harus tau. Kapan akan menutup telinga, dan kapan saatnya menerima suara."

HAPPY READING🥳🥳

Terik panas matahari menusuk permukaan kulitnya. Riuh piuh debu kotoran, tak dihiraukannya. Rintangan demi rintangan tak mematahkan semangatnya. Berdiri di tengah terik matahari sudah biasa bagi seorang pria yang sedang mengais sampah di usia senja.

Kejamnya dunia ibu kota, tak mematahkan semangatnya mencari sesuap nasi. Demi dirinya dan keluarganya apapun pasti akan ia lakukan. Dulu dia tak begini, tapi karena suatu kejadian, hidupnya kini berubah 180°.

Saat mengais sampah, bahunya ditepuk oleh seseorang. Ketika menoleh, ia langsung menegang dan melepaskan karung dan pengait sampah yang dipegangnya. Hingga sebuah suara menyadarkan dari keterkejutannya.

"Bisa berbicara dengan anda?"

~~

"Kania, di Mading ada foto Lo!" seru seseorang yang baru datang.

Semua yang berada di meja tersebut langsung bergegas menuju mading.

Setibanya disana, mereka langsung shock.

"I-ini apa?" lirih Kania.

Semuanya diam. Mereka juga tidak mengerti apa maksud dari ini. Pasalnya, foto yang tertempel di mading adalah foto Kania yang telah terobek oleh silet dan darah yang menetes. Bisa jadi ini disebut terorkan?

Pikiran mereka berkecamuk. Bahkan mahasiswa lain memandang iba ke arah Kania. Saat ini, tak ada yang bisa berpikir jernih.

Kania bergegas mengambil foto itu dan merobeknya lalu membuangnya ke tong sampah. Pertanyaannya disini adalah, kapan sang peneror menempel foto ini? Sedangkan saat sebelum kekantin, foto ini belum ada?.

Baru saja merasa bebas, justru kini ia mendapatkan teror.

"Ini masih permulaan sayang!" ucapnya dengan menyeringai.

~~

Sedangkan ditempat lain, saat ini terjadi perbincangan yang tegang.

"Bisa kau jelaskan apa yang terjadi delapan belas tahun yang lalu?" Seorang pria berjas menuntut penjelaskan kepada seorang pemulung.

Ya, yang saat ini sedang berbicara adalah pemulung dan orang yang membuatnya terkejut.

"Anu.."

Sudah dibilang, anu itu tiga huruf beribu makna. Jadi sulit ditebak kan? Seakan tak sabar mendengar penjelasan, pria ini langsung menatap sang pemulung dengan tajam.

"Mereka tidak meninggal!" ucapnya dengan cepat tanpa jeda.

Badan berjas itu menegang. Mata yang tajam kini menjadi sayu. Kesan arogan menghilang, kini hanya meninggalkan keadaan yang sangat rapuh.

Inilah yang membuat sang pemulung tidak mau menjelaskan lebih banyak, dia tidak tega bila harus melihat pria ini bersedih. Lebih baik ia diam menutup kebenaran, daripada berbicara tapi melihat orang dihadapannya selalu dilanda rasa bersalah. Tapi cara ini salahkan? Seharusnya ia memberi tahu kebenaran bukan?

Memang kadang, kebenaran banyak tertutupi oleh rasa kasihan. Ini salah! Cara ini salah. Seharusnya, lebih baik tersakiti oleh kebenaran daripada hancur perlahan oleh kebohongan, bukan?

Titik Rindu (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang