Dilemma 24

309 53 3
                                    

Satu per satu barang yang ada di kamar Fabian tidak lepas dari pantauan Kinan. Kasur dengan seprai hitam, lampu tidur yang ada di atas nakas, cermin besar yang ada di sudut ruangan, jas-jas yang tergantung rapi, lemari kaca yang dipenuhi miniatur tokoh kartun pahlawan super, hingga dinding dekat pintu yang digambar membetuk peta dunia. Kemudian, Kinan berjalan menuju nakas kanan. Dia mengambil dua buah pigura yang ada di sana.

Pigura yang kecil berisi foto yang diambil tujuh tahun lalu, hari perpisahan SMA Trinitas angkatan 2011. Di sana, Fabian berdiri dengan gagahnya sambil menggandeng dua gadis yang mengenakan kebaya, yang tak lain adalah Kinan dan Valya. Siapa sangka, itu adalah foto terakhir yang mereka ambil sebelum hilang kontak bertahun-tahun. Satu figura lain—ukurannya lebih besar—adalah gambar Kinan. Tulisan 'My love' tertulis di sudut kanan bawah gambar tersebut.

Saat ini, Kinan sedang berada di sebuah rumah di Jalan Vihara No. 24, Andir. Tepatnya, di rumah Fabian.

“Iya, Tante tenang aja, Kinan aman sama saya.”

Refleks Kinan menoleh saat namanya di sebut. Di balkon kamar, Fabian sedang menerima panggilan dari Bu Astika. Laki-laki itu juga sedang menatap Kinan. Langsung tersenyum ketika pandangan mereka bertemu.

“Baik, Tan,” jawab Fabian sekali lagi. Setelah selesai, dia segera kembali masuk kamar dan menghampiri Kinan dan berlutut di hadapannya. “Mama kamu minta maaf. Beliau bilang, beliau tidak bermaksud menyakiti kamu.”

Kinan terdiam. Dia tidak mau membahas mamanya, bibirnya terlalu sakit. Namun, itu semua tidak seberapa jika dibandingkan dengan luka di hatinya. Dia menatap Fabian lekat-lekat, lalu berucap, “Makasih udah dateng di saat yang tepat.”

“Kan, udah aku bilang, udah jadi tanggung jawab aku buat jaga kamu,” jawab Fabian sambil mengusap rambut Kinan. Perhatiannya teralihkan saat pintu kamar terbuka, memperlihatkan wajah sang kakak. “Kenapa, Kak?”

“Kamar tamunya udah kakak beresin. Baju tidur buat Kinan juga udah ada di sana,” terang Dinda—kakak perempuan Fabian. Dia melirik Kinan yang duduk di ujung ranjang. Mata sembab dan pipi yang merah, rasa iba tidak bisa Dinda tahan. “Anggap aja rumah sendiri, ya, Ki. Kalau mau makan, tinggal bawa di dapur, kakak udah masak.”

“Makasih banyak, Kak.”

Dinda mengangguk sambil tersenyum ramah. “Kalau begitu, kakak pamit keluar dulu, ya. Pulangnya pasti agak malem.”

Baik Kinan maupun Fabian, keduanya mengangguk bersamaan, mengiyakan ucapan Dinda. Setelah itu, Kinan segera keluar dari kamar Fabian untuk membersihkan diri di kamar tamu. Saat berjalan melewati ruang keluarga, langkah Kinan terhenti untuk menatap foto keluarga Fabian yang terpampang jelas di dinding.

Fabian adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya—terpaut lima tahun—adalah seorang dokter anak yang sudah menikah setahun lalu, tetapi belum dikaruniai momongan. Ayah Fabian adalah pensiunan Letjen TNI AD berusia enam puluh tahun yang gemar mancing. Sedangkan bunda Fabian mengembuskan napas terakhirnya saat Fabian masih SMP karena penyakit jantung. Dan sampai sekarang, beliau masih menempati kursi tertinggi di hati ayah Fabian.

“Seandainya papa setia kayak Om Ridwan. Pasti semuanya akan baik-baik aja,” gumam Kinan tanpa sadar. Detik berikutnya, Kinan menggelengk, mengusir pemikiran itu. “Ingat apa kata Aya, Ki. Apa pun yang terjadi dalam hidup kita, itu adalah skenario terbaik dari segala kemungkinan.” Kinan berusaha menguatkan diri sendiri. Lalu, dia segera masuk ke kamar tamu untuk membersihkan diri.

Sementara di dapur, Fabian sibuk membuat teh manis hangat untuk Kinan. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa saat yang lalu.

***

“Kamu mau bawa Kinan ke mana?!” bentak Pak Agah sambil menahan pergelangan Fabian. “Lepaskan Kinan. Dia anak saya.”

“Anak?” Kinan berbalik dan menatap papanya penuh cemooh. “Emang Papa masih anggap aku sebagai anak Papa? Kalau begitu, kenapa dulu Papa enggak pernah angkat telepon aku? Kenapa enggak ada satu pun balasan dari Papa buat ribuan SMS dari aku? Kenapa Papa enggak pernah datang buat rayain ulang tahun aku? Kenapa Papa enggak datang waktu aku wisuda? Kenapa, Pa? Kenapa?!” Di akhir Kinan menjerit histeris diikuti air matanya yang turun deras.

Fabian langsung menarik Kinan kembali ke dalam pelukannya. “Sssuut .... Tenang, Ki, ada aku di sini.” Fabian mengusap bahu Kinan yang bergetar hebat, berusaha menenangkan perempuan itu. “Saya Fabian, Om, pacar Kinan. Melihat kondisi Kinan ini, sangat tidak mungkin saya meninggalkan dia dengan Om. Saya akan bawa dia ke rumah saya. Om tidak perlu khawatir, Tante Astika tahu di mana rumah saya.” Fabian mengangguk sopan sebelum akhirnya membawa Kinan pergi dari sana.

***

“Astaga!” Fabian tersentak saat sepasang tangan tiba-tiba melingkar di perutnya. Dia berbalik dan tersenyum saat melihat Kinan tampak segar setelah mandi. “Feel better?

“Hmm. 'Cause I have you.” Kinan berdiri di samping Fabian, menikmati pemandangan kolam yang dihiasi ikan mas berukuran besar. “Papa datang ke rumah buat titipin anaknya. Dia bilang, istrinya dirawat di rumah sakit karena komplikasi, jadi dia enggak punya waktu buat rawat anak itu. Papa juga bilang, enggak ada orang lain yang bisa dimintai pertolongan selain aku sama mama. Dan gak tahu apa alasannya, dengan gampangnya, mama bersedia rawat anak itu.”

Yang bisa dilakukan Fabian saat ini hanya diam, memasang telinga sebaik mungkin untuk mendengar cerita Kinan.

Perempuan itu tersenyum miring. “Dulu, aku selalu kirim SMS atau telepon di saat ada hari penting. Perpisahan SMA, ulang tahun, sampai wisuda, aku selalu coba hubungi papa. Aku harus ngemis-ngemis, minta papa hadir di momen penting dalam hidup aku. Tapi, dia gak pernah datang. Menolak lewat telepon aja enggak pernah. Sekarang, sekalinya datang, malah buat nyakitin aku sama mama.”

“Aku yakin, papa kamu enggak bermaksud demikian. Beliau enggak bermaksud nyakitin kamu atau mama kamu. Baik dulu ataupun sekarang.” Fabian meraih tangan Kinan, membuat perempuan itu menoleh. “Aku bisa lihat di matanya, Ki. Ada banyak sekali penyesalan dan kasih sayang untuk kamu.”

“Papa enggak sayang aku, Yan,” lirih Kinan sambil menggeleng.

Selangkah Fabian ambil supaya lebih dekat dengan Kinan. Dia memegang bahu kekasihnya dan menatapnya lekat-lekat. “Apa yang papa kamu lakukan emang enggak bisa dimaafkan. Tapi, coba sekali aja, kamu lihat beliau sebagai papa kamu, bukan sebagai pengkhianat. Saat itu juga, kamu akan lihat betapa beliau mencintai dan merindukan kamu.”

*
*
*

Kenyataannya, gak semua orang punya sosok Fabian. Gak semua orang punya tempat berlari saat rumah tak seperti rumah. Iya, gak?

Bini Ceye,
19.00, 06 Desember 2021.

00, 06 Desember 2021

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang