Hujan selalu membawa kenangan indah akan pertemuan pertama Ten dan Sera. Setiap kali indra penciuman keduanya mencium aroma petrichor, ingatan itu terus kembali.
Bagi Ten, tentang bagaimana tarian hujan milik Sera yang kala itu bosan menunggu.
Bagi Sera, tentang bagaimana lembutnya suara Ten, juga betapa pakaiannya yang tidak sengaja basah karena air yang jatuh dari payung miliknya.
Hujan, membuat keduanya mengingat satu sama lain.
—
"Sera!"
Suara khas milik Ten terdengar memanggil. Wira itu menyebrang dengan hati-hati, berjalan menuju toko bunga milik Sera dan Kun.
Ah, kini sudah terhitung keduanya kenal. Sudah hampir pergantian tahun, sedangkan mereka bertemu pada manisnya hujan musim panas di bulan April.
"Ten, tumben lebih pagi?" tanya Sera, kala tangan kirinya digenggam oleh Ten.
Tangan kanannya beralih untuk menyentuh permukaan wajah Ten, meraba wajah pria yang sedang tersenyum itu.
"Iya, aku datang lebih cepat," katanya, " Aku bawa hadiah."
Perempuan di depannya mengernyit, namun masih tersenyum. Menunggu hadiah apa yang dibawa oleh sang pujaan hati.
"Apa itu? Bukan kumbang besar, bukan? Hahaha." tawanya renyah diikuti tawa Ten.
"Tentu tidak!" jemari yang lebih besar menuntun jemari Sera untuk terbuka, kemudian menyerahkan satu tangkai bunga marigold.
"Ayo tebak, bunga apa ini?"
Senyum jahil terlintas di wajah Sera. Tangannya merasa bunga di genggamannya dengan lembut, kemudian tersenyum senang sebelum menjawab.
"Bunga marigold. Benar, kan?"
Ten tersenyum, mengusak surai lembut milik Sera. "Benar, 100 poin untuk Sera! Hahaha!"
Keduanya tenggelam dalam tawa. Kemudian, Ten kembali membuka suara.
"Kau tahu, aku mencari banyak referensi pada hampir semua situs. Menentukan bunga mana yang harus ku berikan padamu."
"Kamu kan, bisa saja memberiku bunga mawar, Ten?"
Ten menggeleng, yang tentunya tidak bisa dilihat oleh Sera. "Tidak, mawar itu mainstream, tau!"
"Aku mau yang berbeda. Lalu dengan banyak pertimbangan, aku putuskam bunga marigold ini sebagai lambar dari rasa syukur ku pada Semesta."
"Rasa syukur atas Ia yang sudah menghadirkan kamu di hidupku, membuat aku belajar lebih banyak."
"Maka dari itu, Sera," ia menggantung kata-katanya. Menggenggam tangan kiri Sera yang kosong, kemudian berlutut,
"Aku tahu ini bahkan tidak romantis sama sekali, berlutut padamu di pinggir jalan, dengan persiapan yang sungguh sederhana."
"Tapi Sera, aku bersungguh, aku ingin menjadi orang pertama yang kamu sapa di pagi hari, orang yang akan selalu ada duapuluh empat jam untukmu. Jadi, will you marry me?"
Bagai pertunjukan opera, orang-orang yang berjalan mulai mengerubungi keduanya. Senyum menghiasi bibir semua orang yang menonton, menunggu Sera untuk menjawab lamaran Ten.
"Ten, aku.. aku tidak tahu harus bilang apa.." ungkapnya.
"Katakan iya kalau kamu menerima ku, lalu katakan tidak kalau kamu menolak."
"Baiklah —"
"Iya, Ten. Aku mau. Ayo jalani hidup bersama, ayo saling membahagiakan."
YOU ARE READING
NIRMALA | TEN LEE
Romance[ON GOING] [FLUFF - ANGST] "Nirmala, indah tanpa cacat." Kata Ten, kala ia diminta untuk mendeskripsikan Sera. Meskipun hampir seluruh dunia menganggap perempuan itu cacat - hanya karena keterbatasannya dalam melihat, Ten justru melihat itu sebagai...