Seventeen

6 2 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

S

aat tangisnya mulai mereda, Zealire berusaha kembali bangkit meski dengan kaki sempoyongan. Akibat tergelincir di tangga tadi kakinya terkilir ringan, tidak terlalu parah. Namun, rasanya menaiki seratus lebih anak tangga di depan sana, bisa dibayangkan bagaimana kondisi kakinya tadi.

"Zea, naiklah! Aku akan menggendongmu." Shaq sudah berjongkok di depannya, tetapi dia masih bergeming di tempat.

"Tidak, Shaq. Aku masih kuat berjalan sendiri," tolak Zealire. Dia tidak ingin menambah beban Shaq, apalagi dengan menaiki anak tangga mengular itu sambil menggendongnya.

Meski terjadi perdebatan kecil, akhirnya Shaq tidak lagi memaksa untuk mengendong Zealire. Omelan Doxi tentang bagaimana Zealire sangat menyusahkan, sedikit menyakiti hatinya. Itu memang benar. Sialnya, Zealire sama sekali tidak membantu apa pun selama ini.

Rasanya gadis itu ingin terduduk kembali di lantai, sambil menangis sepuasnya. Mencari peta begitu melelahkan, sulit, dan hal yang paling menyebalkan adalah karena dia tidak bisa apa-apa.

Sejauh pijakan kakinya, dia sudah melewati tiga ruangan yang hanya berisi botol-botol minuman, peta yang berlukiskan pulau sekitar Bleedpool, juga beberapa pelampung, jangkar, dan sebagainya.

"Seberapa banyak lagi ruangan yang kita harus periksa? Keburu pagi datang kalau kamu berjalan selamat itu!" tunjuk Doxi menatap sinis dirinya.

Iya, mereka baru setengah jalan menuju puncak menara. Di mana lampu yang digunakan sebagai navigasi kapal itu bertengger. Kurang lebih dari penglihatannya mungkin ada sekitar enam buah ruangan kecil di sebelah anak tangga setiap mereka mencapai sebuah ketinggian.

"Kaki Zea, 'kan, sedang sakit! Harusnya kamu maklum, tentu saja Zea kesulitan berjalan," bela Shaq dengan urat lehernya yang sudah mencuat keluar, saling melayangkan tatapan membunuh antara Doxi dan dirinya.

Zealire tidak ingin ambil pusing. Sebelum kapal tuannya kembali ke dermaga, dia harus lebih dahulu menemukan peta tersebut. Melihat ke atas sana masih panjang tangga itu mengular, gadis tersebut hanya bisa menghela napas berat.

Dipaksakan kedua kaki kecil itu untuk terus melangkah. Di balik sepatu yang membalut, kulitnya pasti sudah memerah bahkan lecet bergesekan dengan bahan sepatu.

"Zea, biar aku gendong saja." Suara Shaq mulai terdengar menyusul langkah kakinya, mungkin pertengkaran mereka telah selesai.

"Zea!"

"Zea!"

Dia masih menulikan diri, tidak peduli. Mencoba sebisa mungkin berdiri dengan kekuatannya sendiri, Zealire tidak ingin lagi menjadi beban untuk siapa pun, setidaknya dia bisa berguna untuk dirinya sendiri.

Dipukulnya pelan kakinya yang terasa mulai berdenyut. Selangkah, satu langkah lagi, setidaknya tetap berjalan. Bruk!

"Zea!!"

Kaki kirinya hendak melangkah ke depan. Namun, tenaganya yang tidak kuat membuat kaki kiri tersebut menyenggol kaki kanannya. Zealire ambruk di anak tangga ke-63.

"Sudah kubilang biar aku saja yang menggendongmu!" sahut Shaq tiba-tiba menggendongnya ala bridal style.

"Shaq!" pekiknya kaget, tetapi raut khawatir yang sangat kental menghiasai wajah Shaq, membuatnya urung untuk memberontak.

Apa yang sebenarnya kamu lakukan, Zea? Bukannya berguna, kamu malah menambah khawatir Shaq, sesalnya dalam hati. Bibirnya ingin mengucapkan maaf, tetapi sorot mata Shaq lagi-lagi membuatnya luluh. Lelaki itu begitu peduli, Zealire sangat beruntung bisa dicintai orang sebaik Shaq.

"Lebih baik kita memeriksa ruangan ini daripada terus saling bertatapan," cibir Doxi membuka pintu ruangan keempat dengan keras.

Suara itu mengalihkan pandangan keduanya. Zealire hanya bisa menyembunyikan wajahnya di dada Shaq, kedua pipinya merona. Sementara lelaki tersebut mengumpati Doxi, si perusak momen.

***

Mereka berhasil memijak ubin hitam ruangan keempat, masing-masing mengedarkan pandangan menelisik tiap sudut.

"Agaknya di sini tidak ada apa-apa, Shaq." Zealire membuka suara, tanpa menatap lawan bicara. Dia turun dari gendongan, berdiri dengan memeluk lengan Shaq erat-erat sebagai tumpuan.

Shaq manggut-manggut setuju dengan ucapan Zealire. Sedangkan Doxi, dia masih terus mengamati ruangan kecil itu, sambil berjalan. Ruangannya benar-benar kosong.

"Ayo, Beban. Peta yang kamu cari itu tidak ada di sini," ujar Doxi, dia berlalu keluar pintu melewati dua orang itu.

"Doxi!" Teriakan Shaq membuat tungkai panjang milik Doxi berhenti melangkah. Dia menoleh.

"Apa?"

"Bisakah, kita bergantian menggendong Zea? Uh, sepertinya kakiku mulai keram." Ucapan Shaq itu sukses menumbuhkan rasa kecewa di hati Zealire. Dia memang tak mau merepotkan, tetapi mendengar Shaq mengucapkan itu rasanya sesak. Membuat mood menjadi tak karuan.

Gadis bergaun putih lusuh itu akhirnya melepaskan pelukan tangannya. Dia tersenyum kikuk. "Ah, tak apa, Shaq. Kakiku sudah sembuh, kok. Aku kuat berjalan sendiri. Ayo."

Merasa Shaq dan Zealire mengulur waktu, Doxi mendekat ke arah mereka. Tiba-tiba dia berjongkok membelakangi di depan Zealire. "Ayo, naik. Lelakimu itu memang lemah. Satu, aku tidak menerima penolakan. Karena jika kamu menolak, ke depannya jika kakimu bertambah nyeri, gelar beban di namamu akan terus bertambah. Dua, cepat naik. Aku tak suka orang yang menyepelekan waktu."

Tak ada pilihan lain, Zealire pun naik ke punggung Doxi, lantas berjalan duluan meninggalkan Shaq yang masih berdiri di tempat semula.

"Zea! Maafkan aku, kakiku benar-benar keram. Kamu pergi duluan bersama berandalan itu, aku akan menyusul jika kakiku sudah sedikit pulih!" teriak Shaq diacungi jempol oleh Zealire. Ketika dua orang itu sudah lumayan jauh dari pandangan, Shaq tersenyum miring. Apa yang ada di pikirannya?

Sementara Zealire, dia merasa khawatir pada lelaki pujaannya itu. Bagaimana jika ada orang jahat menghampiri Shaq? Atau ... jika kakinya tak lekas pulih, apakah mereka akan berpisah di sini?

Ah, sialan. Doxi menaiki anak tangga dengan langkah yang terlalu cepat. Membuat posisi Zealire yang ada di gendongannya menjadi terguncang tak enak.

Zealire memukul pundak Doxi sekali. "Bisa pelan-pelan, tidak? Aku menjadi tidak nyaman karena kamu melangkah terlalu cepat!"

"Bisa diam, tidak? Nikmati saja bantuanku. Ini demi kebaikanmu agar cepat menemukan petanya, aku yakin benda itu pasti ada di sini. Kamu terlalu menyepelekan waktu, Beban." Setelah mengucapkan itu, Doxi malah semakin mempercepat langkahnya. Oke, Zealire, nikmati saja. Tidak bisa membangkang.

Sudah hampir melewati seratus sepuluh anak tangga, mengecek beberapa ruangan, tetapi hasilnya masih nihil. Langkah Doxi pun mulai lunglai, dia menurunkan Zealire dari punggungnya tanpa permisi.

"Aw! Kenapa tidak bilang mau menurunkanku? Kakiku jadi sakit lagi, dasar Doxi sialan!" Zealire seketika terduduk di sebuah anak tangga sembari memegangi bagian kakinya yang terasa nyeri.

Doxi duduk di samping Zealire, menyisakan jarak sekitar tiga jengkal. "Belum berterima kasih, sudah marah-marah saja. Dasar beban!" Doxi pun mendelik, lantas berkata, "kamu jangan menaruh hati padaku hanya gara-gara ini, ya. Aku hanya tak suka menyepelekan waktu. Ah, iya, apa kamu tidak curiga pada lelakimu itu?"

***

Sampai jumpa, terima kasih.

***

Regard:
maylinss_
jurnalharapan
Erina_rahda
maeskapisme
Salsarcsp
nurullhr
Nitasw213

BLEEDPOOL: ZEALIRE VURBENT [SERIES 3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang