Selamat membaca ^_^
"Kamu segitunya gak mau lepas dari aku ya?" Haechan terkekeh karena Jehan memeluk pinggangnya sangat erat.Jehan mencubitnya. "Aku takut tahu gak sih?!"
"Tahu kok, ini tangan kamu gemetar." Haechan menggenggam tangan Jehan.
"Gak usah sok-sokan nyetir satu tangan! Nyetir yang benar!"
"Hahaha, iya iya.. Ini belok kemana, sayang?"
"Kanan."
"Oke.."
~
Tujuan pertama mereka adalah makam ayah Jehan yang jaraknya paling dekat dari rumah. Mereka mampir sebentar untuk membeli bunga sebelum masuk ke kompleks pemakaman.
"Ayah..," Jehan terdiam gugup, beginikah rasanya saat seorang gadis hendak mengenalkan kekasihnya pada sang ayah?
Haechan tersenyum memperhatikan Jehan. "Halo, ayah.. Saya Lee Donghyuck. Maaf baru bisa berkunjung sekarang."
Jehan menghela napas, mengusir rasa gugupnya. "Ini lho yah, yang sering aku ceritain. Ayah ingat kan? Haechan, sekarang udah jadi pacarku yah."
Haechan bingung mendengar namanya disebut. "Kamu bilang apa?"
"Dulu tuh aku sering ceritain kamu ke ayah. Jadi, aku kasih tahu ayah kalau sekarang kamu udah jadi pacarku."
Haechan tersenyum. "Ayah, saya mohon restu. Saya janji akan membahagiakan putri ayah, menjaga dan melindunginya seumur hidup saya."
"Jangan sembarangan bawa-bawa kata janji." peringat Jehan.
"Aku serius." Haechan menggenggam tangan gadisnya. "Aku udah jatuh begitu dalam sama kamu, sampai aku gak bisa bayangin untuk berpisah sama kamu."
Jehan merinding. Lelaki ini sekalinya serius, perkataannya seolah bisa menyihir Jehan.
Jehan mengalihkan pandang pada nisan ayahnya. "Ayah restuin kan? Restuin aja ya, yah.. Soalnya aku gak tahu mau sama siapa lagi kalau bukan dia." ekspresi Jehan membuat Haechan mendengus geli, ia mengusap surai gadisnya.
Setelah mengatakan beberapa kalimat lagi, mereka berpamitan.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju sekolah Dannis. Perjalanan cukup memakan waktu karena sekolahnya terletak di sisi lain dari ibukota, perumpamaan rumah Jehan dan sekolah Dannis seperti 'dari ujung ke ujung'.
Mereka sampai disana 10 menit sebelum jam makan siang. Setelah menitip pesan pada guru piket, Jehan mengajak kekasihnya untuk duduk di gazebo yang disediakan untuk pengunjung.
"Ini, sekolah impian kamu dulu?" Haechan melihat sekeliling. Dari visualnya memang terlihat bagus.
"Iya." Jehan mengangguk.
"Emang kenapa kamu pingin sekolah disini?"
"Karena... Bagus. Sekolah ini termasuk lima besar SMA terbaik se Indonesia. Banyak alumninya yang kuliah di luar negeri --kan aku pingin banget kuliah di luar negeri, yang masuk kampus lokal juga kebanyakan kampus ternama. Fasilitas dan kualitasnya juga bagus, aku pernah nonton sekolah mereka ikut acara cerdas cermat gitu di TV dan aku kagum sama cara mereka jawab tiap pertanyaannya."
Haechan tersenyum memerhatikan wajah gadisnya yang berseri saat menjelaskan tentang sekolah yang dulu jadi impiannya ini.
"Tapi, poin utamanya. Ini tuh sekolah umum, siapapun boleh daftar, bebas asalkan dia Warga Negara Indonesia. Masuknya lewat tes, jadi adil karena semua merasakan. Biarpun yang punya catatan prestasi kayak si Dannis juga tetap harus di tes. Mereka juga nawarin beasiswa, untuk yang sekiranya keberatan sama biayanya bisa mengajukan, ada juga penawaran spesial untuk yang masuk tiga besar nilai tertinggi waktu tes."
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] So I Married My Idol ✔
FanfictionMenjadi pasangan hidup seorang Lee Donghyuck selalu menjadi impian Jehan. Hanya mimpi, imajinasi, sebatas menghibur diri. Namun siapa sangka, beberapa kali dipertemukan secara tak sengaja membuat keduanya saling mengenal dan menaruh hati satu dengan...