16) Di Perempatan Jalan

0 1 0
                                    

Hari ini sebenarnya aku bisa melanjutkan membaca cerita kalau aku tidak harus pergi ke sekolah.

Pagi hari setelah Subuh tepat, seperti biasanya, aku dan ayah pergi ke pasar untuk membeli sayur-mayur. Kami berdua menghabiskan waktu sampai satu jam lebih tiga puluh menit di sana.
Begitu sampai di rumah, aku langsung mandi. Sebenarnya aku ingin merebahkan badan dulu, tapi kalau aku melakukannya, bisa dipastikan aku semakin malas pergi ke sekolah.

Dua hari yang lalu kepala sekolah memberi tahu kalau nama-nama peserta lomba yang kelas duabelas ajukan sudah disetujui para guru. Febi langsung mencekik leherku saking senangnya. Sebenarnya dia pasti bermaksud memelukku, tapi yang dia rengkuh ke tubuhnya adalah leherku. Setengah hari leherku terasa tengeng karena cekikan itu. Teman-teman suporterku juga terlihat senang karena pilihan mereka disetujui, semoga di dalam hati mereka juga merasakan rasa senang yang mereka tunjukkan.

Aku dan teman-teman satu timku setuju untuk berkumpul membahas yel-yel hari ini, hari Minggu. Karena itulah aku tidak bisa bersantai pagi ini. Jam setengah sembilan kami sudah harus berkumpul di sana.

"Kakak enak banget, sih, ke sekolaaah terus. Kan jadinya aku yang disuruh-suruh. Aku masih kecil, loh, Bu. Masa nggak ada rasa kasihan dikiiit aja buat aku?" protes Lala saat aku sedang sarapan. Dia sedang mencuci piring sendirian.

"Enak dari Hongkong!" ujarku. Aku ingin menyanggah lebih banyak kalau kegiatan lomba itu cukup menyebalkan untukku. Untungnya otakku mengingatkan kalau tidak jauh dari tempatku berbicara ada telinga ibu yang masih bekerja dengan baik. Kalau aku mengeluhkan adanya perlombaan itu, dia pasti menyuruhku masa bodoh dengan lomba-lomba itu dan kembali membantunya.

Baiklah, memang tidak ada hal yang semuanya enak.

Aku lanjut makan. Ibu mengomel kalau kerjanya Lala lelet. Dia membalas dengan suara keras dan lagi-lagi dia mengatakan kalau dia masih kecil.
"Jutru gara-gara kamu masih kecil, kamu harus latihan kerja cepet, bukan malah dilelet-leletin. Nanti jadi produk gagal kayak Kakakmu, tuh, mau kamu?" Awalnya aku kasihan pada Lala. Nasib masa kecil kami tidak jauh berbeda. Namun aku jadi lebih kasihan pada diriku sendiri yang disebut produk gagal.

Tanpa berniat membanting sendok, aku malah melakukannya. Aku berdiri lalu mendorong kursi ke belakang. Suaranya sangat mengganggu telingaku. "Produk gagal ada gara-gara produsennya nggak becus bikin sama ngerawat!" ujarku tanpa memikirkan perasaan ibu.

Aku meneguk air sambil berdiri. Gelas kaca kuletakkan dengan kasar ke atas meja kayu. Untungnya tidak pecah. Aku pergi begitu saja dari meja makan. Mataku melirik ibu. Perasaanku tidak enak. Ibu terlihat merasa bersalah.

Mau tidak menangis, tapi aku tidak bisa. Aku sudah kelewatan, ya? Aku tahu diejek itu menyakitkan. Seharusnya aku tidak mengejek orang yang mengejekku, apalagi itu ibuku sendiri.

Susah payah aku menyembunyikan suara tangisku. Lebih susah lagi menghentikannya. Aku harus segera pergi ke sekolah. Dua puluh menit lagi aku harus sampai di sana.

"Ulfa! Udah ditunggu Aron itu." Aku menatap pintu kamar. Suara ayah berasal dari teras. Aku menyeka air mataku lagi. Aku benar-benar memaksanya berhenti. Kutaburi wajahku dengan bedak lagi agar tangis itu tidak kelihatan.

Kumasukkan ponsel ke dalam tas. Aku juga membawa pena dan buku kecil untuk menulis lirik lagu yel-yel. Helm berwarna hitam itu kupakai di kamar sambil mengaca supaya aku tahu sudah benar atau belum posisi helmku. Saat aku tiba di depan pintu kamar, aku bimbang antara berpamitan pada ibu atau tidak. Beberapa detik aku berpikir, akhirnya aku memilih melaukannya. Kalau tidak, aku semakin dianggap produk gagal. Lagian aku tidak yakin ibu merasa bersalah betulan. Ekspresi muka kadang menipu.

Ibu sudah tidak ada di tempat terakhir aku melihatnya. Setelah mencarinya, aku menemukan dia sibuk di dekat mesin cuci. Dia sedang berjongkok memasukkan baju-baju kotor ke dalam mesin cuci.  Jualannya tidak buka saat hari Minggu karena di rumah ada ayah. Sekerasnya ibuku bekerja, dia tetap memikirkan waktu istirahatnya, tapi tidak memikirkan waktu istirahat anaknya. Menyedihkan.

UnchangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang