Aku sudah menemukan sedikit petunjuk tentang alasan Ara berhenti naik panggung sebagai pianis, tapi aku tak bisa yakin begitu saja. Di social media ada banyak orang yang melebih-lebihkan, bahkan berbohong. Sulit menilai mana yang benar dan salah, apalagi saat bukti-bukti bisa dipalsukan. Lagipula kejadiannya juga sudah lama. Bertahun-tahun yang lalu.
Rasanya ingin sekali mengkonfirmasi rumor itu pada Ara. Hanya saja gadis itu sudah tak kelihatan selama dua hari ini. Baik disekolah maupun di rumah Jimmy saat kami bertiga latihan. Hal ini cukup aneh menurutku. Mengingat Ara tak punya teman dan dia memiliki kegiatan rutin memakai komputer di ruangan latihan kami.
"Itu anak lagi semedi nulis lagu."kataTheo muram saat aku mempertanyakan keberadaan Ara.
Lagu yang dibuat Ara memang belum selesai. Kata Theo, dia juga tak bisa banyak membantu menulis lirik karena harus menunggu Ara selesai dengan gambaran besar lagunya. Karena itu selama dua hari ini mau tak mau kami bertiga berlatih seadanya. Dengan melodi yang kami hafalkan dari track milik Ara. Aku menggumamkan lagu itu sepanjang hari karena belum ada lirik. Kadang aku menyanyikan lirik yang tak masuk akal sebagai gantinya.
Dua jam latihan, kami memutuskan berhenti. Lebih tepatnya Jimmy yang minta berhenti.
"Jadwal les gue makin padet."keluhnya sambil merapikan kabel-kabel yang ada di sekitar drum.
Aku juga mengeluhkan hal yang sama. Rasanya belum lama aku pindah sekolah, tapi sekarang kami sudah memasuki pertengahan kelas 12. Dua minggu lagi ada UTS. Setelah itu rangkaian ujian menanti hingga puncaknya ujian mausk universitas. Ibu sampai menambah jam lesku di hari senin.
"Masih tetep bisa luangin waktu sampe festival kan Jim?"tanya Theo datar.
Jimmy nyengir. "Gue bisa-bisain lah. Kapan lagi gue bisa main band." Jimmy meraih tasnya yang ada di dekat kursi drum terburu-buru. "Gue pergi dulu. Jangan lupa diberesih sebelum keluar!"dia menunjuk tumpukan sampah makanan ringan di meja sebelum pergi dengan langkah cepat.
Aku melirik jam dinding yang ada di atas piano. Satu jam lagi aku juga ada kelas. Dengan secepat mungkin aku membereskan barang-barangku dan memasukannya di dalam tas.
Theo yang sedang mengumpulkan sampah bekas makan ringan yang bertebaran di atas meja menoleh ke arahku. "Lo buru-buru balik?"
"Lumayan."jawabku disela-sela kesibukan mengenakan jaket. "Kenapa?"
Theo memasukkan sampah-sampah itu ke plastik besar lalu melemparnya ke dalam box disamping pintu masuk. "Gue mau minta bantuan soal Ara."
*
Aku memarkirkan sepeda motorku di parkiran gedung les Ara. Jam pulang lesnya sudah belalu sekitar 15 menit yang lalu, tapi masih banyak siswa berlalu lalang di depan gedung dan area parkir.
Aku berjalan menuju gedung dan menemukan Ara dengan mudah. Seperti biasanya, gadis itu duduk di undak-undakan tangga, menundukan kepala sambil melihat ponselnya. "Udah lama nunggu?"aku ikut duduk di sampinya.
Ara menoleh. Rambut panjangnya tersibak lembut menyeruakkan aroma shampoo mint. "Theo nyuruh kakak ngegantiin dia lagi ya?"
Aku hanya bisa nyengir.
Ara menghela nafas panjang. Dia memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu berdiri. "Ayok kak. Kita langsung pulang aja."
"Eh Ra."Aku menahan belakang tasnya.
Ara agak tertarik ke belakang. Gadis itu berbalik badan, menatapku dengan ekspresi datar andalannya.
Aku membasahi bibir yang tiba-tiba terasa kering. Pengorbananku membolos les harus terbayarkan."Kalau aku yang temenin jalan-jalan buat nyari inspirasi mau nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAGIO
Teen FictionAwalnya Khafa tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Segala hal, apalagi cinta, butuh waktu untuk tumbuh dan dirasakan. Ibarat musik semuanya harus mengalun dengan tempo yang tak terlalu cepat dan mengalun lembut (adagio). Khafa percaya...