4. Buku Rusak

4 0 0
                                    

Sekarang hati mama merasa tidak tenang. Pasalnya beberapa menit lalu seorang anak perempuan dengan poni menutupi alis dan rambut tergerai menghampiri dan mengatakan bahwa anaknya merusak buku.

Bagaimana merasa tenang kalau mendapat kabar seperti itu.

Segera mama mengambil hijab dan memasang kaos kaki serta masker untuk menghampiri sang anak.

"Ada apa ini? Khalid ngerusak buku Amel?" Tanya mama.

"Bukan tante, Awan yang maksa Khalid. Ngancem Khalid juga. Kata Awan kalau Khalid gak ngerusak buku Amel nanti dia gak punya teman." Anak perempuan yang tadi melapor pada mama justru membela Khalid. Padahal dia tahu siapa yang telah melakukan kesalahan.

"Khalid?" Mama melihat lebih dalam mata Amel yang berkaca-kaca.

"Khalid coba sini kita  masuk dulu ke rumah!"

"Jangan marahin Khalid tante."

"Amel... tante gak marah, ijin bawa masuk Khalid dulu ya?" Mama menunduk menyamakan tingginya lalu berjalan menuntun Khalid menuju teras rumah. Setidaknya menjauh dari anak-anak lain agar Khalid tidak sakit hati ditegur dihadapan teman-teman.

"Bukan Khalid mama, mama percaya sama Khalid kan?" Khalid menunduk, merasa ketakutan. Mama berhak percaya pada anaknya. Tapi mama juga tidak boleh mengabaikan pernyataan Amel tadi.

"Lalu yang ngerusakin siapa?"

"Awan maa. Khalid gak berbuat apa-apa." Khalid memeluk sang mama dan menyembunyikan raut wajah bersalah.

"Disitu kesalahan Khalid sayang, Khalid kan tahu ngerusak barang orang itu gak boleh. Kasian pemiliknya. Nanti Amel belajar gimana? Khalid saja kalau barang dirusak Zaid marah kan ya. Nah begitu juga Amel. Nanti uang jajan Khalid ditabung ya, buat beliin buku baru Amel. Khalid harus bertanggung jawab." Mama mengusap rambut Khalid dan terus menurun hingga berhenti pada pipi. Membuat Khalid menatap matanya lagi.

"Tapi, bukan Khalid yang merusak buku Amel."

"Khalid... siapa yang ngajarin Khalid bohong sih. Perasaan mama gak pernah ngajarin bohong."

Deg

Khalid ketahuan bohong. Dia sudah berupaya agar terlihat alami. Tapi, rupanya mulut yang terbiasa jujur tidak akan pernah bisa diajak berbohong walau sekali saja. Begitulah fungsi kalau diajarkan selalu jujur.

"Iyaa ma, Khalid salah. Tapi Khalid gak mau dibenci. Khalid mau temenenan sama dia maa," mata Khalid berkaca-kaca seakan mengatakan dia menyesal. Namun tetap terus membela kesalahan.

"Khalid..., gini, misalkan ya. Khalid diberi Allah pilihan. Mau ikut teman ke neraka atau justru ke surga sendirian. Khalid milih yang mana?" Mama mengajak Khalid duduk agar tidak kelelahan. Mereka meluruskan kaki di teras.

"Gak mau pilih apapun."

"Hahh, terus Khalid maunya gimana?" Mama panik. Ini parenting yang dipelajarinya salahkah? Atau Khalid berbeda?

"Khalid mau ke surga bareng teman."

"Ohh, kalau mau ke surga bareng teman. Khalid yang ngajakin, ngasih tahu perbuatan yang salah itu gimana,dan perbuatan yang benar gimana. Biar ke surganya bareng gitu ya? Emang Khalid mau ngajak siapa aja?" Mama memandang bulu mata Khalid. Terus berkedip daritadi, dan bulu lentik itu membuat mama gemas.

"Mamaa... Papa... Hanin... Sikembar... Zaid... Amel... Awan... Kakek nenek... Ammi... Banyak Maa, semua orang di dunia cukup surganya maa?" Khalid menghitung dengan jari-jari tangan mungil itu.

"Insyaa Allah cukup. Nahh sekarang minta maaf sama Amel. Uang jajan Khalid gapapa kan buat beli buku Amel? Terus Khalid kasih tahu Awan ya bahwa hal tadi itu salah. Ajakin Awan minta maaf ke Amel. Jangan lupa sebentar lagi papa pulang, Khalid harus mandi persiapan sholat magrib."

"Siap mama." Khalid berlari ke halaman dan kembali bermain dengan Awan juga Amel. Anak-anak tu gitu. Sukanya berantem, ngerasa berkuasa, tapi bisa-bisa orangtua aja ngasih tahu mana yang boleh dan mana yang gak baik.

"Oh iya lupa, Zaid kan minta bantu ajarin tugas matematika." Mamapun juga berlari ke dalam rumah. Bahkan Zaid sudah mencari keberadaan sang mama.

Look it Mom!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang