21 Pertanyaan Yoga

1.7K 169 19
                                    

Bismillah,

Azwar melirik Amanda yang menggigit bibirnya, wajahnya memucat. Gadis itu terlihat berpikir keras, mungkin merancang apa yang akan dikatakannya ketika Hasti melihat mereka. Amanda berjengit ketika tangan Azwar tiba-tiba menariknya, membuat kakinya melangkah sempoyongan. Tidak ada cara lain, mereka berdua harus cepat-cepat menyingkir sebelum Hasti menyadari anak bungsunya sedang bersama Amanda.

"Mau ke mana, Kak?"

"Nggak tau, pokoknya menghindari Mama dulu, Nda."

"Ta- tapi ...,"

"Azwar?!"

Deg

Suara panggilan itu menghentikan langkah Azwar dan Amanda. Amanda menepis tangan Azwar, melangkah sedikit untuk menjauhkan dirinya dari lelaki itu. Mereka sama-sama belum berani berbalik.

Azwar menelan saliva, membasahi tenggorokannya. Kepalanya sibuk merancang alasan. "Ma," jawabnya kikuk.

"Kamu ... ngapain di sini?" Alis Hasti bertaut. "Sama ... siapa?" tanyanya lagi.

"Ehem, sama ... Amanda, Ma."

Ketiganya diam, dengan Hasti memandang Azwar dan Amanda bergantian. Ada curiga yang terbit di hati perempuan 60 tahun itu. Bagaimana bisa Azwar berada di tempat yang sama dengan Amanda. Setahunya Azwar bukan tipe laki-laki yang dengan entengnya mengunjungi supermarket, lelaki berkulit sedikit gelap itu lebih sering menyuruh orang lain untuk urusan belanja. Berbeda dengan Alfi yang lebih telaten dalam hal ini.

"Apa kabar, Tante?" sapa Amanda. Bibirnya yang kaku tertarik, menyunggingkan senyum canggung.

"Baik," jawab Hasti pendek. Wajahnya masih menyiratkan banyak tanya, sambil menatap Azwar dan Amanda bergantian.

"Ngomong-ngomong tumben kamu belanja, War?"

"Eh ... iya, itu, Ma, kopi ... iya kopi di ruangan habis," gugup Azwar.

Alis Hasti semakin bertaut rapat. "Trus kamu harus banget beli kopi sendiri? Bukannya kamu paling males disuruh belanja ke supermarket?! Antri dan ribet, biasanya juga kamu bilang gitu, kan?" desak Hasti.

"Iya sih, Ma, tapi ini tadi terpaksa. Kopinya habis sama sekali, dan si Cahyo lagi disuruh beli makan siang."

Hasti diam, hanya melirik Amanda yang menunduk dan terlihat gelisah. "Tapi ... beli kopi kenapa di area ini?" tanya Hasti. Matanya memindai rak-rak yang berbaris, memamerkan berbagai macam olahan susu.

Azwar dan Amanda sontak saling melirik sembunyi-sembunyi. Keduanya khawatir rahasia mereka terbongkar saat ini juga. Mereka sama sekali tidak siap dengan kejadian ini. Dan stok alasan Azwar kelihatannya sudah habis. Berbohong memang tidak enak, dan tidak bisa hanya satu kali. Selalu akan ada kebohongan kedua, ketiga, dan seterusnya. Azwar mengerang dalam hati, mengapa Mamanya hari ini teliti sekali.

"Tadi ... anu, Ma, masih liat-liat," Azwar masih berkelit.

"Liat-liat?! Kamu hari ini aneh," kata Hasti.

Mata tuanya lagi-lagi mengawasi gerak gerik Azwar dan Amanda. Dia merasakan detak jantungnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan dua orang di depannya ini. Amanda terlihat semakin gelisah karena Hasti memandanginya. Gadis bergaun linen berwarna hijau emerald itu tidak tahu, kalau Hasti sejak tadi menahan sekuat tenaga untuk tidak merangkul Amanda. Perempuan itu sudah sejak lama menyadari kalau dia tidak bisa membenci Amanda dan Widati. Tidak mungkin! Amanda sudah diasuhnya sejak gadis itu remaja. Rasa sayang Hasti pada gadis ini sama besar dengan rasa sayangnya pada Sarah. Amanda sudah seperti anaknya sendiri.

"Tante." Amanda mendadak mendekati Hasti. Membuat Azwar mengepalkan genggamannya. Lelaki itu tidak tahu apa yang akan dilakukan Amanda.

"Maaf, sebenarnya ... kami ketemu di sini. Dan ... Kak Azwar mau nganterin Manda belanja dulu."

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang