Gacha 2

3.6K 44 0
                                    

Cacha memasukkan buku dengan tergesa-gesa ke dalam tasnya. Jum'at ini ia hampir kesiangan jika pagi tadi Raisa tidak membangunkannya. Dengan langkah besar ia memasuki kelas XII IPA 1 lalu menaruh tasnya asal.

Keadaan kelasnya mulai rusuh ketika speaker sekolah memberitahukan bahwa sebentar lagi GBS [Gemilang Baca Bersama] akan segera dimulai. Cacha meninggalkan teman-temannya yang masih sibuk mencari buku untuk menjadi bahan bincangan di dalam tas dan di kolong meja. Bahkan ia tidak bertemu dengan Esya dan Jia pagi ini. Mungkin mereka berdua sudah baris di lapangan.

Di sekolahnya ini harus dan wajib di lakukan. Dengan embel-embel program pemerintah.

Cacha memasuki barisan teman-temannya yang sudah duduk. Ia tidak menyadari dua sahabatnya yang melambai-lambai menyerukan namanya di belakang sana.

"Cha!!?" panggil Jia keras membuat Cacha kelimpungan sendiri mencari sumber suara. Ia duduk di barisan yang salah. Cacha mendapati Esya dan Jia yang sedari tadi memanggilnya.

"Budek banget sih, Lo. Gue panggilin dari tadi juga," cicit Jia sepelan mungkin agar tidak di dengar oleh anak-anak yang lain. Esya, Cacha, dan Jia kembali duduk rapih di barisan paling belakang. Bukan anak nakal atau bagaimana, tetapi di belakang bisa mengurangi hawa panas. Apalagi tubuh Cacha yang kecil bisa terhalangi oleh teman-temannya yang tinggi walaupun dengan posisi duduk di depan sana.

Semuanya terduduk ketika kepala program memasuki lapangan. Cacha memangku novelnya "Cha.. Lo lagi marahan sama Abang gue ya?" tanya Esya berbisik. Cacha masih mendengarnya tapi dia pura-pura menulikan pendengaran nya. Ya, Esya adalah adik Agam. Ia bisa mengenal Agam juga karena Esya. Tidak, Raisa yang berteman dengan Barack, ayah Agam dan Esya.

Cacha mengibaskan tangannya ke wajah. Hari ini cuaca cukup panas, mampu membuat semua siswa menjadi ikan asin yang di jemur oleh para nelayan. Harusnya jum'at ini turun hujan saja. Selain agar menjadi jum'at berkah toh mereka juga tidak akan berkumpul di lapangan panas-panas seperti ini.

Setengah jam kegiatan rutin jumat itu selesai membuat Cacha haus. Ia berjalan menuju kelasnya bersama Esya dan Jia tentu saja.

"Cha? Lo kok gak jawab pertanyaan gue tadi?" tanya Esya masih penasaran dengan jawaban Cacha. Oke, harus di akui bahwa Esya sedang jadi mata-mata bagi abangnya. Cacha melempar buku novelnya ke kolong meja, melirik Esya dan Jia Yang sedari tadi menunggu jawabannya.

"Iya. Gue marahan sama Abang Lo. Lo tau kan, Gue udah kedua kalinya di labrak sama Tyas Jum'at kemarin?"

Jia dan Esya mengangguk mengiyakan. Memang benar, Jum'at lalu Tyas anak XII IPS 4 melabraknya. Tyas juga merupakan teman Esya. Jadi ada kemungkinan besar Tyas dekat dengan Agam. Toh, saat pertama kali Esya memperkenalkan Agam kepada dirinya di sana juga ada Tyas yang sedang main ke rumah cowok itu.

"Terus? Lo udah punya pacar? Siapa?" pertanyaan kedua pun akhirnya terlontar dari bibir Esya. Cacha yang semula haus menjadi malas untuk beranjak dari tempatnya. Ia bingung. Siapa yang ia anggap pacar? Siapa yang mau menganggapnya pacar? Tidak ada.

Jia menghela napas panjang memperhatikan keduanya. "Lo mulai suka kan sama bang Agam? Udah cinta? Terus kenapa pisah rumah? Terus Lo bilang kalo Lo punya pacar, biar Agam ngejauh, gitu?"

Anggukan Cacha mereka berdua dapatkan. Esya tak habis pikir dengan pola pikir teman dan abangnya ini. Sama sama kekanakan.

"Kenapa emang? Lo ada masalah apa sama bang Agam sampe segininya?"

Cacha mendelik kesal. Kelas mulai ramai karena teman sekelasnya sudah kembali dari kantin untuk sarapan. Dengan berat hati ia harus menceritakan semuanya. Toh, Esya adalah adik Agam. Biar saja dia menceritakan kepada Agam, bahwa ia juga menyukai cowok itu.

Our BussinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang