***
Mata gadis remaja itu menelisik tiap sisi rumah, memastikan tidak akan ada orang yang memergokinya meloncat lewat gerbang belakang ini.
Suara hentakan terdengar tepat setelah sepatunya menapak. Masih dengan tatapan waspada Araina Silvanska, berjinjit ke arah jendela kamarnya. Napasnya tertahan ketika menyingkirkan pengganjal jendela berupa potongan kain percah. Merasa jendela kamar sudah bisa dibuka, senyumnya mulai terbit, tetapi hanya sesaat, wajahnya sekejap berubah tegang. Sosok tegas dengan muka datar, kini tengah berdiri sambil melipat kedua tangannya.
"A-ayah?"
Ara refleks mengusap wajah kumalnya Berharap kotoran diwajahnya menghilang segera, meski itu tak akan berdampak apa-apa. Sia-sia.
Cewek itu melangkahi jendela, lalu berdiri dengan posisi tertunduk. Sejak kapan ayahnya tau kalau dia pergi?
"Dari mana aja kamu?"
Padahal nada suara Baron biasa saja, tapi hal itu sukses membuat Ara terkejut.
"Itu anu... tadi... Aku dari...," Padahal otaknya sudah merangkai alasan sebelum kembali kalau situasi seperti ini terjadi. Tapi semuanya hilang.
"Mancing? Mengemis? Atau jualan koran?"
"Nggak kok, cuman bantuin ngambil sayur sisa di pasar. Buat jadi makanan sapi." Ara menutup mulutnya dengan tangan, kejujuran telah keluar dari mulutnya.
Baron menyentuh kepalanya, tak habis pikir dengan jalan pikiran anaknya. Tak seperti remaja kebanyakan yang akan menghabiskan waktu dengan belajar atau bergaul dengan teman sekolahnya. Ara justru lebih suka bergaul dengan anak-anak jalanan. Awalnya Baron tak masalah, karena berpikir jiwa sosial Ara dalam membantu sesama yang tinggi. Baron juga sering berbagi kepada orang-orang yang kurang mampu.
Namun, lama kelamaan Ara masuk terlalu jauh, dia tidak sekedar membantu, tapi mencoba hidup seperti mereka. Terkadang ia membolos hanya sekedar menonton pertandingan bola di desa, atau berjualan koran di jalan raya.
"Tapi yah, aku dapat duit kok nih liat." Ara memperlihatkan dua lembar uang sepuluh ribu.
"Lupakan ini! Kamu sama sekali tidak menghargai usaha ayah dalam membesarkan kamu! Ayah susah payah cari uang bukan mau megliat kamu hidup seperti gelandangan kayak gini!"
Ara meneguk salivanya.
"Tapi kan, aku cuman mau bantu mereka," lirih Ara.
Napas Baron terhembus perlahan. "Kalau kamu mau bantu, kasih mereka bantuan, bukan malah hidup dengan cara mereka. Sekolah sering bolos, nilai buruk semua, ketiduran di kelas. Kamu mau jadi apa?"
Ara menunduk. Tangannya meremas ujung bajunya menahan gejolak yang terasa ingin meledak di dada. Dengan teman-teman jalanannya, Ara menjadi dirinya sendiri, yang tak didapatkannya di sekolah. Apa itu sebuah kesalahan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My (Perfect) Boyfriend?
Ficção Adolescente"Jadi pacar gue, dan gue bakal bermanfaat buat lo." ----------------------------------------------------------------------- Araina Silvanska. Cewek yang selalu ingin hidup bebas, lingkup pergaulannya yang 'dianggap' aneh oleh ayahnya. Membuat Ara in...