"Jagain adiknya ya, Bang Aga."
"Prang ... Aarrgghh!!!"
"Kamu putra sulung keluarga ini, sulungnya Ayah Bunda."
"Plak ... Pembunuh!"
"Bang, Bunda kapan pulangnya?"
"Aku membencimu. Sangat-sangat membencimu."
Hosh, hosh, hosh ... Seorang pemuda terbangun dari tidurnya. Wajahnya yang tampak pucat pasi sudah basah oleh keringat yang masih bercucuran.
"Tenang Aga ... Tenang," gumamnya sembari menetralkan pernafasannya yang kacau. Tangannya yang tampak gemetar tidak terkendali itu mengelus pelan punggung tangannya sendiri. Memejamkan mata merilekskan diri.
Setelahnya keadaan dirinya stabil, ia pun bangun beranjak menuju kamar mandi. Butuh lima belas menit pemuda itu menghabiskan waktunya di dalam sana. Ia berjalan keluar lengkap dengan seragam yang sudah rapi. Tak lupa pula terpasang jaket hoodie berwarna kesukaannya, hitam. Mirip dengannya, suram dan kelam ....
Pukul 06.40 tertera di jam weker atas nakas. Remaja itu keluar dari kamarnya, berjalan menuruni anak tangga dan berhenti tepat di akhir anak tangganya. Menatap penuh minat orang-orang yang tengah melaksanakan sarapan di meja sana.
"Agara, sayang." Agara Vazryeel Andara, namanya. Bibirnya menyungging senyum pada seorang wanita cantik yang usianya barulah memasuki kepala empat. Wanita itu berjalan menghampirinya dengan kotak makan di tangannya—Liana Zivanya.
"Bekal kamu, dihabisi ya," ucap Liana, bundanya menyerahkan kotak makan tersebut. Sudah menjadi kebiasaan dari sang bunda selalu menyiapkan bekal untuknya
"Iya, Bunda," Agara tersenyum tipis, tampak teduh.
"Hati-hati, jangan kebut-kebutan!" Liana menjawil hidung mancung Agara gemas. Agara tertawa kecil dengan perlakuan bundanya barusan.
"Gara berangkat ya, Bunda." Agara mencium punggung tangan bundanya, lalu lanjut mencium kedua pipi juga.
Agara berjalan menjauh menuju pintu keluar. Liana menatap punggung putranya dengan sendu, tersenyum getir mengingat apa saja yang sudah dilalui oleh putranya itu.
🛡️🛡️🛡️🛡️
"GA, GUE PINJAM KIMIA DONG!" baru saja Agara melangkahkan kakinya ke dalam kelas, dirinya sudah dihadiahi toa yang memekakkan telinga.
"Itu suara lo gak bisa dikurangi lagi volumenya?" Zevano Al-fatah—Zevan menatap tajam pemuda yang menjadi teman sebangkunya. Sedangkan si empunya—Niel mengusap tengkuknya sembari cengengesan, Niel Ammar Pradhana.
"Maaf atuh Pan, gue panik belum selesai tugasnya. Si Aksa teman tersayang lo itu pelit! Sedangkan lo ... Otak kita sebelas dua belas." Raut santainya di akhir ucapannya membuat Zevan mendengus kesal.
"Gue masih ada usahanya, ngerjain sendiri! Jangan samakan gue sama lo yang terima jadi," ketus Zevan menoyor kepala Niel yang mengerucutnya bibir setelahnya.
Agara tertawa geli melihat tingkah laku pemuda-pemuda di hadapannya ini. Mengalihkan pandangannya pada seseorang disampingnya, Aksa teman sebangkunya yang kini tengah menidurkan kepalanya diantara lipatan tangan, Muhammad Aksa Abiyya.
"Ini, cepetan sebentar lagi bel masuk," Agara menyerahkan buku tugasnya pada Niel yang kini tersenyum sumringah. Sedangkan Zevan tengah asyik memainkan game di ponselnya, tersumbat headset di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scutum (Sedang Revisi)
Teen FictionAkan tiba masanya saat aku pergi dari dunia Saat janji yang aku ucapkan sudah terlaksana Saat dirimu mengatakan diriku sudah memenuhi yang kau pinta Dan saat Yang Kuasa bilang sudah tiba waktunya Karena memang seperti ini jalan kehidupannya seorang...