Dilemma 31

343 50 0
                                    

Sejak duduk di Sekolah Dasar, Valya sudah biasa menjadi bintang sekolah dengan segala pretasinya di bidang akademik. Nilai tugas sempurna, ulangan seratus, dan masuk tim olimpiade sekolah. Dia senang belajar dan memiliki daya ingat yang kuat. Dua hal itu menjadi penunjang Valya untuk terus mencetak prestasi. Maka dari itu, Valya selalu menjadi ketua kelompok setiap ada tugas bersama.

“Yan, lo antar Valya dulu, ya,” cetus Aldy sambil membereskan barang-barangnya.

Sontak saja Fabian melirik perempuan berambut panjang dengan hiasan jepit biru itu. Ia mengalihkan lagi pandangannya pada Aldy, kali ini sampai melotot. “Kan, lo tahu gue ada latihan futsal bentar lagi, Al. Lo aja. Gak ada kegiatan lain, 'kan?”

Tanpa merasa berdosa, Aldy menggeleng dengan mudah. “Gue gak bisa, Yan. Nyokap gue minta diantar ke rumah nenek. Lo tahu sendiri yang namanya cewek paling gak suka dibikin nunggu.” Lalu, Aldy melirik sport watch di tangan kirinya. “Masih ada waktu sebelum latihan futsal. Masih sempet, lah.”

“Tapi, gue juga perlu siap-siap, 'kan?”

Valya menatap dua laki-laki yang ada di seberang mejanya. Ia sudah mengorbankan waktu menonton acara musik favoritnya untuk mengerjakan tugas kelompok. Dilanjutkan harus rela pergi dengan teman sekelas yang baru dikenal 2 minggu ini dan menjadi perempuan satu-satunya—karena anggota yang lain sakit datang bulan. Harus mengerjakan tugas sendiri karena mereka berdua tidak mengerti.

Dan sekarang, baik Fabian mau pun Aldy, keduanya tidak mau mengantar Valya pulang. Luar biasa!

“Gak usah diantar. Gue bisa pulang naik angkot,” cetus Valya tiba-tiba. Dia meletakkan sejumlah uang di atas meja. “Ini buat makanan gue. Gue duluan.” Ia segera berdiri dan berlalu dari sana.

Saat itu juga, Aldy menepuk punggung Fabian keras-keras. “Lo itu bego atau gimana, sih, Yan? Tadi gue udah kasih peluang buat lo sama dia. Kenapa malah disia-siain?!”

Fabian mendesis sambil mengusap punggungnya yang terasa perih. “Peluang buat apa, sih?”

“Gak usah sok polos gitu, deh! Gue tahu dari tadi lo curi-curi pandang mulu sama Valya!” Aldy mendorong tubuh Fabian sampai hampir terjatuh. “Kejar sana! Makanan lo biar gue yang bayar. Nanti malah keburu naik angkot, susah lagi buat bikin kalian deket!”

Sembari berdecak keras, Fabian mengikuti kemauan Aldy. Kalau dipikir-pikir, kasihan juga jika Valya harus naik angkot sementara langit sore Bandung mulai menghitam. Fabian segera menyalakan motornya dan menyusul Valya yang berjalan menuju halte terdekat.

“Nih,” ucapnya sambil menyerahkan helm. “Gue antar lo pulang.”

Sebelah alis Valya terangkat. “Bukannya lo harus siap-siap buat latihan futsal, ya?”

“Gue masih ada waktu, kok. Lagian, bentar lagi juga pasti turun hujan. Bakal ribet kalau lo naik angkot. Nih, pakai.” Lagi, Fabian menyerahkan helmnya pada Valya. Tanpa sadar, dia sudah menghela napas lega saat gadis itu tidak menolak. “Oh, iya. Tunggu sebentar.” Dengan cepat, Fabian melepaskan jaket denimnya. “Ini, pakai juga jaket gue. Takutnya malah hujan di tengah jalan.”

“Gak perlu. Gue kayak gini aja, gak apa-apa.”

“Gak usah sungkan. Jaket gue bersih, kok, baru dipakai sekali. Masih wangi, gak bau keringet. Gue diajarkan sama orang tua gue buat menjaga dan mengutamakan cewek. Jadi, tolong, terima jaket gue.”

Meski penuh keraguan, akhirnya Valya menerima jaket Fabian itu. Dia mengenakannya sambil terus menatap Fabian. Gue pikir, cowok ini apatis. Ternyata, baik juga. Valya naik ke motor Fabian dan duduk dengan nyaman di belakangnya. “Udah.”

Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang