Bab Satu-Kembali Lagi

44 6 0
                                    




Aku tidak pernah menyangka kembali lagi ke kota ini, terlebih lagi demi dirinya. Semua kenangan yang pernah kami lalui bersama membuatku tidak ragu menjejakkan kaki di sini untuk memulainya kembali.

 Tidak pernah bertukar kabar selama empat tahun, aku berharap dia masih mengingatku seperti aku mengisi kepalaku tentang dia. Seperti apa dia sekarang, apakah dia sudah memiliki pengganti diriku, aku tidak tahu.

 Aku menyesali keputusan yang aku buat sendiri, ketika aku dan dia berpisah. Untuk menjaga perasaan masing-masing, aku melarangnya menghubungiku dan dia melakukan hal yang sama.

Aku merasa sepi di tengah keramaian bandara Kualanamu ini. Duduk di bangku sendirian. Wanita setengah baya yang tadi duduk di sebelahku sudah pergi bersama dengan keluarganya yang berbondong-bondong menjemputnya.

"Maaf, lama ya?"

Aku mendongak dan mendapati Jun, sepupuku yang sejak kecil tinggal di Medan. "Udah satu jam aku nunggu, kau ke mana aja?"

Jun menggaruk tengkuk. "Tadi ada rapat tiba-tiba." Dia duduk di sebelahku dan menepuk-nepuk kepalaku. "Yakin mau meninggalkan semua fasilitas di Surabaya dan tinggal di sini?" Terdengar nada tidak percaya dalam suaranya.

"Daripada di sana. Kan aku udah cerita kalau Papa menjodohkan aku sama Ardian. Aku nggak mau."

Bukannya simpati, Jun malah terbahak sampai membungkuk dan kacamatanya merosot dari batang hidung. "Bukannya dulu dia mengejar kau sampai ke Medan?"

Aku tidak perlu menjawabnya, Jun sudah tahu alasanya karena aku sudah menceritakan semuanya. Ardian adalah teman SMA-ku dan pernah pacaran dengannya adalah kesalahan besar.

"Tapi kau itu masih anak-anak, kok udah dijodoh-jodohkan," seru Jun dengan nada bercanda.

"Nggak usah diperjelas perbedaan umur kita. Memang kita satu angkatan, tapi beda umur," kataku ketus. Jun terdiam, lalu dia berdiri dan menatapku dalam-dalam.

"Aku ke sana dulu." Sebelah tangannya menunjuk suatu arah dan sebelah tangannya yang bebas dia jejalkan ke saku celana.

 Aku memicing curiga, mengikuti arah pandangnya. Sepertinya dia sedang mengincar seorang gadis yang mengenakan setelan blazer salah satu bank swasta yang ada di Medan. Jun melangkah penuh percaya diri menghampiri gadis itu, namun aku tidak yakin Jun benar-benar tertarik.

Aku menghela napas panjang dan menoleh ke arah sebaliknya, biarlah Jun mau apa. Tidak seharusnya aku mengurusi hidup orang lain saat ini, hidupku saja belum tahu bagaimana di sini.

Tidak ada bantuan keuangan dari Papa, itu konsekuensi yang harus aku terima setelah kabur dari rumah. Aku tidak sanggup membayangkan kemarahan Papa, apalagi setelah membaca surat yang aku letakkan di atas meja di ruang kerja Papa, yang meminta Papa tidak mencariku.

Setidaknya sekali dalam hidupku, aku ingin menentukan pilihan sendiri tanpa campur tangan Papa.

Aku mengerti, sebagai orangtua, Papa ingin yang terbaik untuk anaknya, tapi menurutku caranya salah dan mungkin Papa berpikir selama ini tindakannya benar. Sering kali Papa memaksaku melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan.

Kepalaku terasa berat sampai aku menunduk menatap sandalku. Hanya ini alas kaki yang bisa aku bawa. Dan koper kecil yang isinya tidak ada barang berharga.

"Bos Steven."

Aku langsung menoleh mencari pemilik nama itu. Jantungku berdegup kencang mendengar nama itu lagi. Pandanganku terhenti tepat pada laki-laki yang melambaikan tangannya sekilas di sampingku, entah sejak kapan dia di situ. Laki-laki itu tetap menunduk, matanya terpaku pada iPad.

Double STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang