Perempuanku

9 2 0
                                    

Pagi itu kuberanikan diri menelepon Anesta, tidak sekedar mengucapkan selamat pagi, tapi juga janji untuk bertemu dia nanti siang.

Aku tahu sebenarnya alasan utamaku untuk bertemu adalah karena aku rindu, tapi aku juga ingin bicara tentang Dea dan Dion. Aku ingin dengar pendapatnya.

Kami janjian sepulang kuliah, dan dia yang memilih tempat untuk bertemu.

Aku ikuti saja apa maunya, mungkin dia mau Window shopping setelah makan. Makanya dia lebih suka kami bertemu di mall. Atau dia punya alasan lain, aku tak tahu. Kalian kira mudah memahami perempuan?

Dia sudah setuju untuk bertemu saja, aku sudah bahagia. Bergegas aku berangkat ke kampus, tapi kali ini rasanya berbeda. Lebih bersemangat, karena siang nanti aku akan bertemu dia.
========

Kulihat dia di lobby sebuah mall, matanya mencariku. Aku tidak segera menampakkan diri. Bukan karena usil, aku hanya ingin menikmati dia dengan pandangan mataku sepuasnya. Kulihat rambut ikalnya yang semrawut, mungkin tertiup angin. Kulihat wajahnya yang berkeringat. Cuaca diluar memang sedang tidak bersahabat. Bagiku dia terlihat sangat cantik dan menarik.

Akhirnya kami bertemu, sambil makan kami bicara banyak hal termasuk soal Dion dan Dea. Aku suka saat dia menyampaikan pendapatnya. Sepertinya apapun tentang dia aku suka.

Kuantar dia pulang, tapi rasanya belum puas ngobrol dengan dia, aku masih ingin bicara di kosnya. Ternyata dia sudah ada janji dengan teman-temannya. Dan aku nggak suka. Atau mungkin aku cemburu.
=========

Kulihat ibu sedang menonton tv sendirian diruang tengah. Kuhampiri ibu untuk menemaninya.

"Bapak mana bu, kok nggak kelihatan?"

"Ada rapat RT, itu lho mau memperbaiki gapura depan gang. Perginya sudah dari tadi, tapi sampai jam segini belum pulang. Biasa, kalau bapak-bapak ngumpul mesti ngobrol macem-macem"

"Padahal ibu juga kalau sudah pergi arisan berangkat sore, pulangnya ya malam", aku mulai menggoda ibu.

"Lho beda to, ibu kan harus ikut menghitung uang yang masuk. Kan nggak cuma arisan ada simpan pinjamnya juga. Harus dihitung bener-bener biar nggak salah"

"Lha ini kamu, berangkat kuliah dari pagi kok baru pulang jam segini?"

"Tadi pulang kuliah ketemu teman dulu trus pulangnya mampir ke rumahnya Dion. Ngobrol disana, gitu lho bu"

"Kemarin malam Dion kesini, mukanya kok kayak gitu tho le? Kayak kusut, sedih. Ibu mau nanya ya nggak enak. Mau nanya kamu aja"

"Biasa bu, anak muda. Putus cinta, lagi patah hati dia bu".

Aku terbiasa menceritakan banyak hal ke ibu, walaupun ada beberapa hal juga yang kusimpan.

"Oalah, pantesan mukanya kayak gitu. Kenapa?, ditolak sama perempuannya?"

"Nggak, cuma mamanya Dion nggak setuju Dion pacaran dulu, takut mengganggu kuliahnya"

"Ya, orang tua ada benarnya juga. Kalau menurut ibu sih nggak usah dilarang lah tapi dikasih pengertian aja anaknya".

"Kalau aku yang jatuh cinta bagaimana bu?"

"Memangnya kamu sedang jatuh cinta? Sama siapa? Jangan sama tetangga disini lho ya, ibu takut nanti nggak enakan sama orang tuanya kalau kalian nggak jadi menikah".

"Hahahaha, ibu...ibu. Nggak mau aku bu kalau sama orang sini. Nggak ada yang aku suka"

"Lho, kemarin Tiwik kesini cari kamu. Kamu lagi pergi, ibu lupa menyampaikan ke kamu. Malah titip salam sama kamu. Tetangga saja kok pakai titip salam segala tho. Aneh-aneh saja anak jaman sekarang"

"Bu, kalau aku suka sama perempuan tapi bukan suku Jawa boleh bu?"

"Ya bolehlah, asalkan dia baik, sayang sama kamu dan membuatmu nyaman. Ibu bisa menerima kok"

"Kenapa? Kamu seneng sama anak mana?"

"Aku suka sama seseorang bu, namanya Anesta. Nanti kalau sudah jadian aku kenalkan ke ibu. Sekarang doakan dulu, biar anakmu ini nggak ditolak waktu menyatakan perasaan"

"Biasanya doa seorang ibu itu manjur, Bu. Demi aku anakmu"

"Iya, nanti ibu doakan semoga kamu jadian. Nggak ditolak sama siapa itu tadi namanya?"

"Anesta, Bu"

"Ya itu sama Anesta, kalau kamu sedih nanti ibu juga ikut sedih"

"Ya, sudah ibu mau tidur dulu. Nunggu bapakmu lama sekali. Nanti tolong diperiksa lagi pintu sama jendela ya. Tidurnya jangan larut, biar nggak gampang sakit"
===========

Besok, akan kutemui lagi dia sepulang kuliah. Mungkin aku punya keberanian untuk menyatakan perasaanku padanya. Semakin lama kupendam ternyata membuatku semakin tersiksa. Aku harus mengatakannya.
============

Sepulang kuliah, segera kupacu motorku kekampusnya. Berharap dia belum pulang kuliah. Dion pernah cerita kalau Dea dan Anesta selalu pulang lewat pagar depan. Sengaja tidak menelponnya, aku suka memberinya kejutan.

Sebelumnya aku telpon Dea menanyakan jadwal kuliah Anesta hari ini. Menurut perkiraanku sih dia belum pulang, kucoba menunggu selama 30 menit. Kalau lebih dari itu dia tidak muncul juga, mungkin aku akan menelponnya untuk tau dimana keberadaannya.

Kulihat dia dari kejauhan, berjalan sambil menyepak-nyepak kerikil. Rambut ikalnya selalu dikuncir kuda dan seringnya berantakan. Bagiku itu menambah daya tariknya dimataku, dia terlihat berbeda.

Selalu memakai sepatu sport. Mungkin suatu saat aku ingin melihat dia tampil feminin dengan gaun atau rok lengkap dengan high heels.

Aku tahu dia terkejut dengan keberadaanku, kulihat senyumnya mengembang. Mungkin dia merindukanku. Bolehlah aku sedikit berharap.

Aku bersyukur dia tidak menolak ketika kuajak pergi menjelajah ke bagian kota disebelah barat hanya untuk semangkok bakso.

Aku selalu menikmati perjalananku dengannya diatas motor, aku ingin dia memelukku. Suatu saat dia pasti memelukku.

Akhirnya, aku ungkapkan juga perasaanku. Kukumpulkan keberanianku, karena aku merasa dia pun punya rasa yang sama.
Dia, perempuan ku, hanya bisa menatap mataku. Mungkin dia ragu. Atau aku yang terlalu cepat mengatakannya.

Kuusap pipinya dengan ibu jariku sebelum kami berpisah, ingin kucium bibirnya saat itu.
Ingin kupeluk tubuhnya, kudekap erat. "Aku mencintaimu Anesta!".

Masih ada esok dan esok lagi untuk bertemu. Akan kutunggu jawabanmu sampai kapanpun itu.
============

Ada yang berbeda akhir-akhir ini, aku menyambut pagi dengan lebih bersemangat. Anesta, dia alasan yang selalu membuat pagiku terasa lebih indah.

" Bu, aku berangkat kuliah dulu", kucium tangan ibu, hal biasa yang kulakukan.

"Sudah ngomong belum ke Anesta soal perasaanmu?", dan aku merasa lucu dengan pertanyaan ibu.

"Sudah, nanti Mahesa ceritakan. Ini buru-buru mau ke kampus. Pamit, Bu!"
==========

Aku ingin mengajaknya ke suatu tempat. Aku sudah merencanakannya dari tadi malam.

Ternyata cuaca tidak mendukung, gerimis. Aku memilih menunggu dia di kosnya. Dea bilang Anesta ada penelitian di kantor pajak. Dea menyarankan lebih baik menunggu di kos.

Lumayan lama aku menunggunya. Aku mulai resah. Sering melihat jam tanganku, menghitung tiap menitnya sambil bertanya dalam hati "Dia dimana sih?"

Cukup lega, akhirnya kami bertemu. Bicara banyak hal sampai dia menyampaikan soal hubungan kami. "Mamaku tidak akan setuju dengan hubungan kita. Kedepannya jalan kita semakin sulit, dan kita harus berjuang. Kamu mau berjuang bersamaku?"

Anesta dan Mahesa ( Sudah dicetak )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang