Empat Puluh

78 21 3
                                    

40.

Mahera menekan bel rumah kediaman Denar. Saat itu suasana sepi tidak seperti biasanya. Banyak teman Denar yang berkumpul hanya untuk mabar. Beruntung bagi Mahera tidak ada teman-teman Denar, sebab keberadaan mereka akan memperkeruh suasana. Beberapa menit menunggu pintu tak kunjung dibuka. Mahera yang merasa lelah kemudian kembali menekan bel kembali sebanyak tiga kali.

"SIALAN KALAH!" gerutu Denar.

"Siapa sih elah ganggu aja!"

"Bentar woy!!" teriak Denar ketika kembali mendengar bel rumah berbunyi.

Denar terus-menerus mengerutu tidak jelas lantaran kalah bermain game. Ia kesal pada seseorang yang tidak sabaran untuk menunggunya membuka pintu. Denar meletakkan ponsel di atas meja. Ia bangkit dari tempat duduk dan berjalan menuju pintu rumah dengan langkah malas.

Saat pintu telah terbuka Denar terkejut dan mengernyit kan dahi. "Mau apa lo?" tanya Denar ketus.

Mahera tersenyum tipis. "Santai. Gua cari masalah sama lo. Gua mau nanya sesuatu. Dan gua harap lo mau jawab."

Melihat mimik wajah Mahera yang terlihat serius. Tanpa bertanya banyak lagi ia memutuskan untuk mempersilakan Mahera masuk ke dalam rumah. Bukan tanpa alasan Denar memutuskan untuk berbicara dengan Mahera di ruang tamu karena tidak ingin ketahuan jika ia berbohong pada teman-temannya mengatakan bahwa ia tidak di rumah.

Denar duduk di sofa sambil bersandar. Ia meraih sebuah kotak yang berisi rokok. Ia mengambil satu batang rokok dari dalam kotak tersebut. Menyalakan rokok itu, lalu dihisap rokok tersebut dalam. Dengan mata terpejam Denar menikmati nikotin yang masuk ke dalam paru-parunya sebelum perlahan ia embus kan asap rokok itu.

"Jadi, lo mau nanya apa sama gua?" ucap Denar.

Belum sempat Mahera berujar. Denar sudah kembali berbicara. "Lo mau nanya kenapa gua bayarin spp lo?"

Mahera menatap Denar menelisik. "Salah satunya itu. Tapi, ada yang lebih penting dari itu.

Dahi Denar berkerut mendengar menuturan Mahera. Mahera memperlihatkan dua buah akte yang ia ambil ketika ingin mengajukan beasiswa.

"Apa ini?"  tanya Denar. Ia meletakkan rokok yang ia hisap disebuah asbak.

Perlahan Denar mengambil sebuah map yang Mahera berikan. Dan betapa terkejutnya saat itu melihat tulisan dikertas itu.

"Gua mau tanya. Kenapa akte gua ada nama tante Rini di situ. Apa lo tau kenapa?" sambung Mahera.

Denar tertegun kala melihat akte Mahera sekaligus mendengar pertanyaan langsung dari Mahera. Denar mengacak rambutnya, ia merasa pusing dengan semua ini. Perlahan Denar menatap Mahera yang duduk tepat dihadapannya. Melihat Mahera yang merasa penasaran dengan jawaban dari Denar karena cowok itu tak kunjung merespon pertanyaan yang ia lontarkan.

Perlahan Denar menarik napas sebelum berkata, "Gua gak tau. Kenapa lo nanya gua!" pekik Denar ketus. Ia pun kembali menghisap rokoknya.

Mendengar perkataan Denar wajah Mahera lesu. Satu-satunya harapan untuk tahu kebenaran tak dapat diajak kompromi.

"Gua yakin lo tau sesuatu hal. Tolong kasih tau gua!" ucap Mahera penuh penekanan.

Denar mematikan rokok di atas asbak dengan kasar. "Kalo gua kasoh tau. Apa lo bakal cabut tuntutan lo dan bebasin nyokap gua?!" 

Mahera terdiam. Hatinya berdesir tidak mengerti dengan ucapan Denar. Tiba-tiba ponsel Mahera berbunyi, namun Mahera mengabaikan.

"Maksudnya?"

"Lo kan yang udah jeblosin nyokap gua ke penjara?!"

Lagi-lagi ponsel Mahera kembali berbunyi. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Hal itu membuat Mahera terusik.

Lukisan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang