Twins Brother : 14

1K 57 0
                                    

Pagi yang terlalu dingin untuk Mesha. Gadis itu sudah siap dengan seragamnya, meski jam baru menunjukkan pukul 05.35

Dengan belaian angin dingin, Mesha menggigil dengan badannya yang bergetar. Tampak was-was dibalik rasa khawatirnya.

"Dingin, ya?" Agam datang sembari menempatkan jaket ke punggung Mesha. Mesha bergeming sambil menunggu Agler yang sibuk menyiapkan mobil di dalam garasi.

Tak lama, mobil putih mengkilap berhenti di depan Mesha.

Tidak, Mesha tak berani bertemu tuan dan nyonya-nya sekarang. Ia menoleh pada Agam yang menggenggam jemarinya.

"Abang?" Agam menoleh.

"Kenapa, By?" tanya Agam sambil tersenyum tipis. "Semuanya akan baik-baik saja. Mereka pasti sudah bisa menerima kamu, kemarin mereka juga menanyakan kamu loh!"

Perasaan Mesha semakin merasa tak enak. Rasanya sulit memberitahu Abangnya apa yang sebenarnya terjadi padanya.

"Bukan itu, By cuma … cuma–"

"Maaf, Tuan … Nona?" sela seorang pria berkemeja hitam yang datang dari arah gerbang.

"Ada apa?" Agam mengalihkan pandangannya pada sosok berkemeja itu.

"Saya mendapat laporan dari penjaga komplek. Seseorang memaksa masuk dengan keperluan bertemu keluarga Shenata," ujar pria itu tegap dengan badannya yang gagah.

"Siapa?" Agam melempar pandangan pada Agler yang segera turun dari mobilnya. Berdiri di samping Mesha yang ikut terkejut.

"Kenapa?" tanya Agler kemudian.

"Mereka mengatakan, orang tersebut adalah kenalan Nona, By," tunjuk si pengawal pada Mesha yang langsung menaikkan alisnya.

Agam dan Agler kompak menatap adik mereka. Memberi tanda tanya lewat sorot mata curiga.

"Rey?" tebak Mesha dalam batinnya. Semalam ia kembali menelepon Rey untuk meminta laki-laki itu menjemputnya esok hari. Tidak disangka Rey datang tepat waktu.

"Temen kamu? Siapa?" Agam mengusut memorinya untuk menemukan tebakan yang cocok dengan orang disebut oleh pengawal rumahnya.

"Ah! Dia pasti partner lomba By! By lupa, Bu Cindy bilang kalau kita harus ke sekolah untuk bertemu dengan beliau lebih awal untuk berdiskusi soal lomba," cetus Mesha. Matanya berbinar, berharap rencananya pagi ini berhasil.

Agam mengernyit heran. Sementara Agler menangkap sesuatu dari raut wajah adiknya. Ada sesuatu dibalik ucapan Mesha yang terdengar berbelit.

Tidak mungkin Mesha lupa hal seperti ini. Dan jika memang benar, seharusnya Mesha mengatakannya kemarin. Tidak berlagak lupa dengan wajah gusar pagi ini.

"Ehm … By boleh nggak Ikut Abang ke bandara, ya?" Mesha menatap dua pria di sana bergantian.

Beberapa detik berikutnya, baik Agam maupun Agler sama-sama masih bungkam. Membuat Mesha menggigit bibir bawahnya. Ia belum siap berhadapan dengan dua orang yang kedatangan mereka tak pernah Mesha nantikan.

"Ya udah, nggak papa. By nggak usah ikut Abang ke bandara," tanggap Agler tiba-tiba. Matanya yang memandang hangat kepada Mesha, benar-benar dirasakan gadis itu.

Sampai ketika senyum Mesha mengembang tak sadar, batinnya melompat senang. Ia mengangguk pada Agler.

Sementara Agam melempar tatapan aneh pada kakak 6 menit lebih tua darinya itu. "Lo–"

"Abang anter sampe depan, ya?" tawar Agler mengacuhkan Agam.

"Huh? E–enggak perlu! Abang harus berangkat ke bandara sekarang, nanti Mama Papa Abang nungguin Abang kelamaan! By nanti jalan ke depan komplek sendiri aja, okay? Ayok buruan! Nanti kejebak macet!" Mesha menolak tawaran Agler.

Gadis itu menyeret lengan Agler untuk segera masuk ke dalam mobil. Dengan semangat, Mesha juga menyeret Agam ke sisi lain mobil.

"Okay!" Cukup berat bagi gadis itu menyeret kedua kakaknya yang membatu dengan tumpuan badan mereka.

Peluh mengalir di pelipis kanan Mesha. Sebenarnya sejak tadi keringat dingin itu merembes kulitnya yang kedinginan. Tapi senyum senang di wajahnya membuat Mesha lupa untuk mengelapnya.

Agam dan Agler tak menemukan jawaban dari rasa heran mereka. Tapi mereka berdua tetap masuk ke dalam mobil dengan melihat adiknya yang melambaikan tangan.

Mobil kakaknya sudah keluar dari gerbang. Mesha merapatkan jaket yang dipasang Agam sambil membuang napas lega.

Gadis itu berjalan santai keluar dari rumahnya. Rey benar-benar menyelamatkannya kali ini.

Sedangkan di dalam posko penjaga komplek, sang  penghuni rumah di samping jalanan komplek itu tampak menggunjing seseorang. Remaja berseragam putih abu yang tengah menunggu salah satu penghuni komplek.

"Kasmaran kali anaknya! Senyum-senyum terus dari tadi! Hahahah … " celetuk yang satu.

"Pagi banget ngapelinnya! Hahaha, anak muda jaman sekarang! Nggak kenal waktu!" timpal yang lain sambil menggeleng.

Di samping mobilnya, Rey tampak girang dengan wajah senang yang tak bisa ditutupi.

Signal semalam sampai tak bisa membuatnya tidur untuk menanti pagi. Rey ingat, Mesha tiba-tiba kembali meneleponnya saat ia hendak beranjak untuk tidur. Memintanya untuk menjemput Mesha pagi-pagi.

Karena itu pula, ia sangat bersemangat pagi ini. Beberapa kali Rey membuang napas kuat. Membebaskan dadanya yang terus berdebar tak karuan. Bahkan tangannya sampai tak bisa diam, mengayun seperti anak kecil yang menantikan hadiah mereka datang.

"Rey?"

Namanya terpanggil setelah hampir 15 menit menunggu. Gadis cantik dengan rambut panjang yang tergerai, tersenyum ke arahnya sambil memanjangkan langkah sama riangnya.

Rey terpesona sesaat pada wajah bulat itu, matanya yang sipit dengan hidung mancung dan bibir merona. Pipinya tampak memerah karena suhu disekitarnya membekukan udara, sehingga semburat merah membentuk rona yang cantik di tiap sisi pipi Mesha.

Jantung Rey berdebar melihatnya. Ternyata, gadis yang sering ia dengar sangat pendiam dan introvert di sekolahnya, adalah Mesha dengan wajah mungil yang cantik dan menggemaskan.

Sebenarnya tidak sesuai dengan tipikal dingin dan cuek yang sering gadis itu tunjukkan, tapi Rey tahu, ia memang tak mengenal siapa Mesha. Begitupun orang-orang yang sering membicarakan gadis yang kini sudah sepenuhnya berdiri di depannya.

Rasa penasaran Rey semakin membuncah melihat wajah hangat Mesha saat ini.

"Lo senyum?" Rey salah tingkah sampai pertanyaan bodoh itu keluar begitu saja.

Mesha yang sebelumnya dengan mood baik sampai tersenyum tanpa sadar, kini tersadar dengan cepat dan menurunkan lengkungan itu. Menunjukkan wajah datar seperti yang biasa Rey lihat.

"Apaan sih?" Mesha membuang wajah ke aspal jalan.

Rey mengulum senyum merasa sudah keceplosan. Ia menggeleng untuk menetralkan atmosfer yang melingkupi dirinya. Atmosfer yang penuh debaran dan rasa canggung.

"Ehm, enggak! Mungkin gue salah liat, ya udah, yuk masuk!" Rey berjalan cepat ke sisi mobil untuk membukakan pintu.

Alis Mesha bertemu melihat sikap Rey yang tiap hari makin aneh.

🍁🍁🍁

"Hari ini, saya aktifkan tugas kalian. Ikuti mobil yang membawa By. Jangan sampai ketahuan," titah Agam melalui ponselnya.

Dua kembar itu, belum melewati gerbang keluar komplek. Mobil mereka berhenti untuk melihat sedan hitam yang baru saja meluncur keluar dengan Mesha di dalamnya.

Temanggung, 6 Maret 2021
-Ara



Twins Brother (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang