Dilemma 33

369 51 1
                                    

Karena fungsi pulmonal normal, mual masih dalam batas wajar, dan nyeri di sekujur tubuh perlahan membaik, Fabian akhirnya bisa keluar dari recovery room. Sudah seminggu ini dia tinggal di ruang rawat dan terus dalam pantauan ketat dari dokter. Dia belum diperbolehkan bergerak bebas dan mendapatkan asupan makanan dengan asal. Hampir setiap hari dokter dan perawat meminta keluarga benar-benar memerhatikan Fabian.

Itulah yang dilakukan Kinan sejak 10 menit yang lalu, terus memerhatikan Fabian meski ia terlelap. Dan saat sepasang mata itu perlahan terbuka, Kinan langsung tersenyum hangat menyambut Fabian.

“Hi,” sapa Fabian dengan suara serak. Dia juga ikut tersenyum, senang mendapati Kinan adalah orang pertama yang dia lihat pagi ini. “Kapan datang?”

“Belum lama. Om Ridwan pulang buat ambil baju ganti. Kak Dinda juga ada janji sama pasien. Jadi, hari ini, kamu bakal sama aku terus,” ucap Kinan sambil meraih tangan Fabian dan menggenggamnya erat.

Fabian mengangguk kecil. “That's great. Itu yang aku mau dari kemarin-kemarin, berduaan sama kamu seharian.” Fabian balik menggenggam tangan Kinan meski tidak begitu erat. Kejadian itu membuatnya sadar, bahwa setiap detik dalam hidupnya sangatlah berharga. “Makasih karena terus di samping aku, Ki.”

“Gak bosen ngomong kayak gitu mulu? Kamu tahu apa jawaban aku, Yan. Ini semua udah jadi kewajiban aku. Bukan cuma kamu yang harus selalu di samping aku saat aku ada masalah. Udah seharusnya juga aku terus dampingi kamu di saat kayak gini,” ucap Kinan dengan penuh kelembutan, sesuatu yang sangat jarang dia perlihatkan. Setelah itu, dia melepaskan genggaman tangan mereka dengan pelan dan segera mengambil air. “Minum dulu, ya? Aku bantu.”

Kinan membawa gelas dan mengisinya dengan air hangat. Ia juga menambahkan sedotan stainless supaya Fabian lebih mudah untuk minum. Kinan sudah sangat berhati-hati untuk membantu Fabian minum, tetapi ada saja kesalahan yang di perbuat. Saat hendak menarik kembali gelas, tak sengaja air itu mengenai leher Fabian.

“Astaga! Yan, maaf. Maaf. Aku ... gak sengaja.” Kinan langsung menyimpan kembali gelas ke atas meja dan membawa tisu untuk membersihkan leher Fabian. “Gimana, dong? Baju kamu jadi basah.”

“Gak apa-apa, airnya anget, kok.”

“Tapi nanti pasti jadi dingin.” Kinan terus menempelkan tisu pada Fabian. Sampai tak sengaja menekan luka memar di dada Fabian. Ia ikut memekik saat Fabian mengerang kesakitan. “Mana yang sakit, Yan? Aduh, maaf banget. Aku lupa kalau dada kamu sakit. Tunggu di sini, aku panggil dokter dulu.”

Dengan cepat, Fabian menahan tangan Kinan. Dia menggeleng sambil tersenyum tipis, berharap itu bisa mengurangi kepanikan Kinan. “Gak perlu, sakitnya udah hilang, kok. Kamu gak perlu panik sampai segitunya, Ki. I am totally okay.”

No, you're not okay at all, Yan.” Kinan terduduk di ujung brankar. Matanya menatap wajah Fabian. Memang, keadaan Fabian membaik semakin harinya, tetapi Kinan tetap tidak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri. “Kamu kayak gini gara-gara aku. Kamu kecelakaan gara-gara aku. Seandainya hari itu aku yang bawa bahunya sendiri, pasti kamu masih baik-baik aja. Kamu enggak perlu operasi dan terbaring kayak gini.”

“Dan kamu yang tidur di sini?” tanya Fabian sejurus demikian. “Percaya, Ki, itu jauh lebih menyiksa buat aku. Kamu enggak perlu menyalahkan diri sendiri terus, ini semua bukan salah kamu, emang udah seharusnya ini terjadi. Ini udah kehendak Allah.”

“Tapi, Yan ....”

“Sssuut!” potong Fabian dengan cepat. “Aku sama sekali enggak menyalahkan kamu, Ki. Ini udah takdir aku, siapa pun enggak akan bisa mengubah kejadian itu. Berhenti menyalahkan diri kamu, ya? Sini, peluk aku.”

Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang