bagian 1

7 1 0
                                    

Kematian adalah kehilangan yang mendalam. Kehilangan yang hilang tidak akan pernah kembali lagi. Aku kehilangan sosok hebat di hidupku. Ayahku. Beliau sangat hebat.

Memang tidak ada yg tau kapan. Tapi itulah kematian. Menorehkan luka terdalam bagi orang orang tersayang. Semua terjadi begitu saja. Seberapa banyak air mata yg menetes pun tidak akan mengembalikan dia yang telah pergi.

Malam itu... Disaat sinar bulan masuk ke celah kamarku dan dengan angin malam dingin yang menusuk kulit serta menyingkap gorden jendela, aku mendapatkan firasat buruk. Tidurku gelisah dan tak tenang. Tetapi dengan sifatku yang seperti ini, aku menampik semua kemungkinan buruk di kepalaku.

Siapa yang tau bahwa semesta akan memanggil hero-ku kembali kerumah tuhan. Dering telepon menghanyutkanku. Tertera disana bahwa bundaku menelfonku.

Dengan debaran jantung dan suara yang tercekat di tenggorokan, aku segera mengangkat telfon dan menanyakan ada apa. Tidak bisa ku tahan, pikiran buruk lagi lagi menggerayangi pikiranku. Bahkan lebih banyak daripada yang tadi.

Karena setelah itu tersambung, aku dengan jelas mendengar bundaku dengan suaranya yang bergetar menyuruhku untuk bergegas cepat ke rumah sakit. Di perjalanan pun aku merapalkan doa, semua dewa aku panggil di doaku. Tidak mengelak, itulah manusia. Ingat Tuhan disaat yang terdesak. Disaat mereka tidak tau harus apa.

Tak terasa air mataku mulai menetes memikirkan ayahku. Memikirkan kenangan kenangan indah kami yang sudah terlewat.
"apakah ayah baik baik saja? tolong bertahanlah. untuk aku, untuk kami, untuk semua orang"
segera ku pacu kakiku berlari. Tidak peduli lagi jika aku akan tersandung atau keseleo. Ayahku sedang diambang jurang. Antara memilih bertahan untuk kami atau melepaskan kesakitan yang ia rasakan selama ini.

Napasku terputus putus. Aku ingin mengambil jalan pintas dengan menaiki lift. Kecewa mendera dan menggelenyar di dada sesaat aku melihat tulisan bercetak tebal hitam bertuliskan "maaf lift ini sedang dalam proses perbaikan"
segera aku memutar balik dan memilih melewati tangga.

Di tangga pun aku berlari sambil menangis. Memegang dada kiriku yang terasa sesak dan nyeri. Mencoba mengais nafas dalam untuk menenangkan sejenak jiwa dan ragaku. Tetapi tetap tidak bisa. Aku berlari. Terus berlari. Dengan satu tangan yang naik menutup mulut, aku berniat untuk meredam tangisku yang semakin menjadi jadi.

Saat seperti ini rasanya kepalaku ingin pecah, kepalaku pusing. Memikirkan kenangan indahku bersama ayah, memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi, memikirkan saudara kembarku yang masih terbaring lemah selama 15 tahun dia hidup, memikirkan bagaimana nasibku kedepan. Semua hal itu berputar putar di kepalaku.

Semesta seakan mengejekku, seakan beliau mengujiku dengan kejadian terberat yang pernah dialami manusia sepertiku. Apa salahku? Kenapa harus aku? Bahkan aku tidak punya tempat untuk berkeluh-kesah. Bahkan aku tidak punya tempat untuk mengistirahatkan tubuhku dari kejamnya dunia.

Aku berdiri di depan pintu kamar rawat ayahku dengan wajah gusar dan berantakan. Menarik nafas sejenak untuk menenangkan diri sebelum muncul di hadapan beliau.

Ku tarik knop pintu selanjutnya terlihat bundaku bersama kembaran ku yang masih tak sadarkan diri di ranjang yang berdekatan dengan ranjang ayahku. Mungkin kembaran ku masih ingin melanjutkan mimpi indahnya. Serta ku lihat juga dokter beserta perawat menoleh ke aku dengan senyum tipis.

Selanjutnya aku lihat ayahku menghadap ke aku dengan tatapan kosong. Apakah sudah aku katakan jika beberapa hari ini ayahku lupa ingatan? Yaa, dia melupakan ku, melupakan kami sekeluarga setelah melewati masa sekaratnya. Tapi lucunya, lagi lagi dia berada dikondisi sekarat. Lihatlah betapa kejamnya semesta mempermainkan hidupku. Bagaikan hidupku ini adalah sebuah candaan untuk kesenangannya sendiri.

Aku mendekat lalu ku lihat ayahku tersenyum tipis dan meneteskan air mata. Yang bahkan ekspresinya aku ingat sampai saat ini. Ekspresi yang selalu membuatku merasa sakit.

Setelahnya aku berdiri diam dengan telingaku yang berdenging, mataku berkunang kunang, dokter dan perawat panik, bundaku yang memeluk saudara kembarku sambil menangis.

Ku lihat dengan mata buram dokter dan perawat tengah bekerja keras. Tetapi sepertinya, ayahku sudah ingin bebas dari rasa sakitnya.

00:47 0603 selamat jalan ayah. sampai bertemu di atas sana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

K H A R M ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang