1. The Rain

599 74 19
                                    

Tetesan air dari langit turun begitu saja, padahal satu jam yang lalu, langit masih cerah dengan teriknya sinar matahari yang dapat membakar kulit. Langkah kaki yang terburu terdengar, menepis rintik-rintik air yang tertinggal di helaian hitamnya. Ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, memeriksa apakah air hujan itu masuk ke dalam tasnya atau tidak. Sampai satu buku terulur ke arahnya, membuat dirinya mendongak setelah membenarkan letak kacamata di hidung bangirnya.

"Lu ninggalin ini di meja, tadinya mau gue titip ke si Ploy, tapi kebetulan kita ketemu di sini." Jelas pemuda di hadapannya yang juga mengenakan kacamata, namun tidak meninggalkan kesan cupu sama sekali, masih terlihat keren sebagaimana seharusnya.

Ia tersentak saat suara klakson mobil di belakang pemuda itu terdengar, membuatnya segera mengambil buku di tangan lawan bicaranya dan berlalu begitu saja. Setelah kakinya mengambil beberapa langkah, ia kemudian memutar balik langkahnya ke tempat semula.

"Thanks ya." Ucapnya, mengangkat buku ditangannya dengan senyuman kecil yang tercipta di sana. Dan ia tidak ingin membuang waktu ayahnya yang telah menunggu di dalam mobil, maka dirinya kembali melangkah menuju mobil dan menyapa ayahnya dengan bersemangat.

Kao, pemuda yang masih mematung di tempatnya menyaksikan itu semua. Dia tidaklah se-anti sosial itu sampai tidak peka terhadap lingkungan, namun melihat pemuda tadi menampilkan raut wajah lain cukup membuatnya terpana. Tidak, ia tidak jatuh pada pesona pemuda itu- setidaknya belum.

"Gue baru tau kalo lu temenan sama si Up. Anaknya kan jutek parah." Cerocos gadis yang baru saja tiba di halte yang sama dengan Kao. "Wuih gaya lu pake kacamata jadi keliatan kayak anak pinter beneran anjir!" Lanjutnya, seperti seorang fans melihat tampilan Kao saat ini.

"Dia anak olim Kimia." Balas Kao santai dan melepas kacamatanya, sebelum mengambil helm hitam full face  dari tangan gadis yang beberapa saat lalu mengendarai motor sport hitam.

"Oh, pantesan. Tapi, kayaknya dia cocok deh lu pacarin. Lu kan suka sama yang imut-imut tuh."

"Your ass." Kao tidak ambil pusing, ia menyuruh gadis tadi untuk segera turun dari sana. 

"Kao, Kao... Sampe kapan lu mau ngarepin si Earth balik?"

"Jangan kebanyakan ngehalu Zo, nih kunci mobil gue, jangan kebut-kebutan ya bawanya." Ucap Kao, sebelum dirinya memakai helm dan segera pergi dengan motor sport sahabatnya itu.


Dilain tempat, Up baru saja selesai membersihkan diri saat ia mencium aroma masakan yang sangat enak baunya. Dengan langkah besarnya ia berlari ke meja makan dan menemukan sang ayah yang sedang menaruh beberapa piring di atas meja.

"Keringin dulu rambutmu, entar masuk angin." Ucap ayahnya.

"Udah laper pa~"

Pria paruh baya itu menggelengkan kepalanya dan mengambil alih handuk di tangan putra tunggalnya kemudian membungkus kepala pemuda itu dengan handuk kecil itu dan mengusaknya.

"Pa, besok aku pinjem mobil ya buat ke sekolah."

"Besok kan sabtu, kamu gak libur?"

"Disuruh bantuin ngebimbing adek kelas buat belajar persiapan olim. Lagian gak enak juga kalo harus nolak."

"Yepp, gimana kamu aja. Tapi inget, jangan ngedorong diri kamu berlebihan. Sesuatu yang berlebihan itu gabaik, dan tubuhmu butuh yang namanya istirahat juga."

"Oke, siap pa!" Balas Up, mengacungkan ibu jarinya dengan dua gigi kelinci yang mengintip dibalik kedua bibirnya. Ia selalu bersyukur memiliki sosok ayah yang sangat peduli padanya, berbeda dengan orangtua lain yang selalu mendorong anaknya untuk menempati posisi terbaik, namun ayahnya tidak mengharapkan itu. Ayahnya selalu berkata jika ia hanya menginginkan apa yang terbaik untuk putranya, tidak harus selalu untuk menempati posisi terbaik. Karena dimatanya, Up yang selalu ia lihat setiap hari adalah versi terbaik dari dirinya.

Perfectly Imperfect - KaoUpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang