29. Degupan

958 71 3
                                    

Suara denting sendok garpu yang saling beradu dengan piring memenuhi ruang makan disebuah rumah dengan pemiliknya yang merupakan sebuah keluarga yang bisa dikatakan harmonis.

Terdiri dari ayah, ibu, dan salah seorang anak perempuan mereka.

"Jingga, besok kakakmu pulang," ujar wanita setengah baya yang merupakan ibu dari gadis yang bernama Jingga itu.

"Iya tau," jawab Jingga acuh sambil mengunyah makanannya.

"Kamu tau darimana?" tanya Dika, ayah Jingga.

"Dari Julian? Jangan bilang kalo kamu masih berhubungan dengan Julian. Kamu harus inget kalo Julian itu udah jadi suami kakak kamu, kakak ipar kamu," sahut Iren. Jingga hanya bergeming tak menjawab apapun itu, ia malah buru-buru meminum susunya dan beranjak dari duduknya.

"Aku udah kenyang, aku berangkat. Assalamualaikum." Setelah berpamitan dengan kilat bahkan tanpa mencium tangan dari orang tuanya, Jingga langsung berlalu begitu saja untuk berangkat ke sekolah. Ia malas dengan topik Julian yang merupakan suami Jihan. Jingga tau fakta itu. Tapi Julian cintanya. Sebelum Jihan mengenal Julian, ia sudah lebih dulu mengenal cowok itu. Ia dulu yang mencintai cowok itu, bahkan ia dulu juga yang menjalin hubungan dengan cowok itu.

Anggap saja ia egois saat ini atau mungkin keras kepala. Tapi biarlah. Ia tak akan mundur begitu saja. Menurutnya, ia bukanlah orang ketiga dari hubungan Jihan dan Julian, tapi Jihan lah yang orang ketiga dari hubungannya dengan Julian.

***

Suara ketukan pintu di kamarnya membuat Jihan menoleh dari cermin. Ia mengernyit bingung. Siapa? Jika Julio pasti cowok itu mengetuk disertai teriakan memanggil namanya. Kemungkinan kedua berarti Julian.

Suara ketukan kembali terdengar, ia buru-buru beranjak untuk membuka pintu. Benar dugaannya. Itu Julian. Cowok itu sudah berdiri dihadapannya dengan wajah tenang dan penampilan yang bisa dibilang rapi. Hanya mengenakan celana jeans dan kaos yang dibalut dengan kemeja yang tidak cowok itu kancingkan. Tampan. Melihatnya membuat Jihan menyunggingkan senyumnya.

"Jadi?" tanya Jihan basa-basi. Pasalnya jarang-jarang cowok itu mengajakan jalan seperti ini. Bahkan tidak pernah.

"Menurut lo?" Julian malah balik melemparkan pertanyaan dengan wajah yang tetap tenang dan datar.

Jihan mengangguk masih dengan senyumannya. Ia langsung menutup pintu kamar dan melangkah mengikuti Julian yang berjalan disampingnya.

"Julio gimana?" tanya Jihan.

Julian berdecak malas. Dari kemarin gadis itu selalu bertanya tentang Julio, Julio, Julio mulu. "Bukannya kemarin gue udah bilang ya?"

"Iya tau. Maksud gue apa nggak sebaiknya kita pamit gitu ke dia kalo kita pergi?"

"Dia satpam lo?" Jihan menggeleng cepat. "Yaudah."

"Kok yaudah sih?!" Jihan menatap Julian kesal dengan memajukan bibirnya.

"Kalo dia buka satpam lo, terus kenapa kita harus ijin?!"

"Ya kan setidaknya pamit gitu lho. Biar kalo ada apa-apa atau gimana-gimana kan dia nggak begitu khawatir."

Julian menghela nafasnya kasar. Ia berhenti di tengah-tengah lobi dan menatap tajam pada Jihan. "Jadi intinya, lo mau ikut atau nggak? Kalo nggak, gue bisa pergi sendiri." Setelah mengatakan itu, Julian langsung berjalan meninggalkan Jihan dibelakang tanpa menoleh lagi.

Jihan berdecak dan memukul kepalanya pelan.

Lo bego banget, Jihan. Julian udah mau ngajakin lo jalan dan mulai bersikap baik sama lo, lo malah bikin dia marah-marah lagi, dumelnya dalam hati pada dirinya sendiri.

Jihan buru-buru mengejar Julian. Menyamai langkah lebar cowok itu. "Oke, gue ikut lo, gue nggak pamit-pamit sama Julio."

"Hmm." Mereka berdua berhenti didepan hotel, dipinggir jalan raya. "Kita naik angkutan umum aja," putus cowok itu masih menatap kearah jalanan.

Jihan tersenyum senang. "Nggak masalah. Tapi kalo kita nyasar gimana?"

"Ya tinggal balik arah lah. Gitu kok susah."

Tak jauh dari mereka, angkutan umum terlihat. Julian buru-buru melambaikan tangannya guna memberhentikannya.

Setelah angkutan umum itu berhenti, Julian dan Jihan langsung maksud. Keadaan di dalam ramai. Banyak ibu-ibu yang sepertinya akan atau pulang dari pasar. Terlihat dari ibu-ibu yang membawa keranjang belanjaan yang sudah terisi ataupun belum. Bahkan ada ibu-ibu yang sudah pulang dari pasar itu membawa ayam.

Jihan duduk dipojokan sedangkan Julian berada disebelahnya. Cowok itu juga bersebelahan persis dengan ibu-ibu yang membawa ayam itu. Julian bahkan sesekali menyumbat hidungnya, terlihat sekali cowok itu jarang menaiki angkutan umum. Tapi saat udah tau nggak biasa naik kenapa malah ngajakin?

"Nggak pernah naik ya?" tanya Jihan berbisik. Julian menoleh dan balas berbisik. "Udah lama nggak naik."

"Kenapa tadi minta naik ini? Biasanya selama disini naik taksi kok?"

"Pingin aja." Lagi-lagi cowok itu tak mau memberikan alasan yang jelas padanya.

Keadaan diantara mereka hening. Hanya ada suara ibu-ibu yang tengah mengobrol tentang hari ini ingin memasak apa, hingga rumah tangga tetangga aja mereka bahas. Random.

Hingga tiba-tiba ayam yang berada dekat dengan kaki Julian bergerak heboh karena dikagetkan seorang siswa SMP yang baru masuk itu, membuat Julian yang ada disebelahnya itu ikut berteriak kaget. Membuat orang-orang yang ada didalam angkutan umum itu pada menoleh kearah Julian.

Walaupun yang berteriak tadi adalah Julian, tapi Jihan ikut ketimpa malunya. Ia bahkan memalingkan mukanya melihat kearah jendela belakang angkutan umum yang tepat pada disampingnya. Sungguh jika ia tau akhirnya begini, lebih baik ia memaksa cowok itu untuk naik taksi online aja. Tapi emangnya ia bisa menentang dan memaksa keputusan Julian? Tentu saja tidak.

Sedangkan Julian, cowok itu dengan mudah menormalkan wajahnya kembali. Padahal saat itu orang-orang tengah menatapnya dengan berbagai macam tatapan. Tapi ia tetap lempeng-lempeng aja.

Tak berselang lama, Julian tiba-tiba meminta sopir angkutan umum itu berhenti. Ia menoleh pada Jihan. "Turun," ajaknya singkat.

Jihan hanya mengangguk tanpa banyak bertanya.

Setelah selesai membayar, mereka berjalan berdua dipinggir trotoar. Ditengah panas pula. Jihan beberapa mengusap peluh di dahinya yang menyebabkan poninya berantakan.

Julian menyadari hal itu. Ia secara tiba-tiba berhenti yang membuat gadis disebelahnya menoleh dan menatapnya dengan tatapan bertanya. Tapi ia tak menghiraukan tatapan itu, ia malah mengusap peluh Jihan dengan ujung lengan hoodienya. Ia juga merapikan poni gadis itu kembali.

Jujur saja saat Jihan diperlakukan seperti itu, ia terkejut. Ia bahkan sampai menahan nafasnya.

"Lo kepanasan," cetus Julian.

Jihan bisa bereaksi dengan mengangguk saja. Efek sikap sweet Julian sungguh kuat hingga membuat jantungnya berdetak, perutnya digelitik kupu-kupu, serta pipinya yang memerah yang kali ini ntah karena kepanasan atau karena kebaperan. Gadis itu menghela nafasnya untuk menetralkan degup jantungnya.

"Mau kemana ini?" tanya Jihan.

"Jalan." Setelah mengatakan itu, Julian langsung menggamit tangan Jihan untuk mengikuti langkahnya. Jihan tersentak dan membuat degup kencang jantungnya kembali lagi.

Keknya gue kena gejala serangan jantung deh.

***

Fairahmadanti1211


Julian Untuk Jihan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang