Empat Puluh Satu

67 23 3
                                    

41.

"Denar waktu lo sakit dia—" Fanessia berhenti berujar. Ia terlihat ragu untuk mengatakan hak ini.

"Dia apa?" Mahera memegang kedua bahu Fanessia menatap dalam manik mata Fanessia.

"Dia yang donorin darah buat lo," jelas Fanessia.

"Ha? Maksud lo?" ulang Mahera yang terkejut mendengar penjelasan Fanessia.

"Gak mungkin ... Lo—lo salah liat pasti. Mana mungkin." Mahera mengacak rambutnya. Fanessia mengeleng.

"Engga ... Gua gak salah liat."

"Dia yang donorin darah buat lo." Fanessia terdiam sejenak. Memperhatikan lekat Mahera. "Ketika gua selesai nganterin Nadira untuk tes golongan darah yang ternyata golongan darah dia gak sama dengan lo," sambung Fanessia. Mahera kembali dibuat terkejut dengan perkataan Fanessia.

Kali ini Mahera yang terdiam dengan memperhatikan Fanessia dengan perasaan tidak percaya. 'Apa maksud semua ini?'

Dengan pikiran yang masih terasa membingungkan Mahera berdiri dari kursi. Menarik napas sejenak.

"Lo pasti ngantuk, mangkannya ngelantur. Udah sekarang lo masuk kamar cuci kaki cuci tangan terus tidur. Okay?" Fanessia menaikkan sebelah alisnya.

"Gua beneran gak bohong?!" Tapi ucapan Fanessia hanya dianggap sebagai angin lalu oleh Mahera.

Mahera pun langsung merangkul pundak Fanessia dan menganjaknya masuk ke dalam rumah. Fanessia mendengus. Dengan langkah terpaksa Fanessia mengikuti Mahera.

"Bunda aku pamit pulang ke kosan ya?" Luna yang saat itu asik menonton sinetron menoleh ke arah Mahera.

"Kamu gak nginep aja?"

Nadira yang menyandarkan kepala pada sandaran sofa ikut menoleh melihat Mahera—kakaknya.

"Iya kak, nginep aja!" Mahera meringis mengaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Kapan-kapan aja Bunda. Aku juga gak bawa baju sekolah." Mahera melirik sekilas pada Fanessia. "Masa aku pinjem bajunya Fanessia?"

Fanessia membuat kan mata kala mendengar perkataan Mahera. Luna dan Nadira tertawa geli membayangkan jika Mahera benar-benar mengenakan baju milik Fanessia. Masa iya Mahera memakai rok?

"Bunda ... Nadira! Jangan ngelamun yang engga ... Engga ya!" protes Mahera.

Luna tersenyum simpul pada Mahera tidak enak hati. Sementara Nadira menyeringai meledek Mahera.

"Udah ah. Mahera mau balik dulu Bun."

Mahera meraih tangan Luna, lalu mengecup lembut punggung tangannya. Setelah itu Mahera berlanjut mencium kening Nadira sebanyak tiga kali.

"Baik-baik kamj di sini. Jangan ngerepotin Bunda!" pesan Mahera.

"Bunda kalo Nadira nakal siram aja pake air!" Nadira melotot mendengar ucapan Mahera.

"Emang aku kucing kak!" kelakar Nadira. Mahera tersenyum semringah. Ia mengacak rambut Nadira.

"Ya udah Bunda, Nadira Fanessia aku pamit."

"Iya, hati-hati ya!" ucap Luna.

"Iya Bunda. Assalamualaikum ..."

"Wa'alaikum salam." kata Luna dan Nadira bersamaan.

"Aku anterin Mahera ke depan Bun," pamit Fanessia.

Mahera berjalan keluar rumah Fanessia sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Ia menyejajarkan langkah kakinya dengan Mahera lantas tersenyum. Mahera yang melihat tingkah aneh Fanessia menoleh, lalu menjitak kepala Fanessia pelan. Fanessia mengerang sakit.

Lukisan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang