Bab 1

32 12 3
                                    

Huft...

Helaan nafas itu keluar dari sela-sela bibirku. Sekarang aku sudah naik kelas. Hal itulah yang membuatku malas untuk masuk sekolah. Pasalnya sahabatku, Yena, berada di kelas yang berbeda denganku untuk tahun ajaran baru kali ini. Lebih buruknya lagi, setelah aku memeriksa daftar murid yang akan sekelas denganku di kelas akhir ini, tak ada satu pun yang aku kenal. Rasanya aku ingin meminta wali kelas untuk memindahkanku ke kelas yang sama dengan Yena. Beruntung bagi Yena karena di kelas barunya, ia masih mengenal sejumlah teman jadi dia tidak akan sendirian.

Dengan langkah gontai, aku telah sampai di depan kelas. Tangan kananku terangkat berat untuk membuka klop pintu kelas. Pintu terbuka dan terlihatlah pemandangan kelas yang sudah diisi banyak murid. Wajar, aku datang 10 menit sebelum bel masuk. Semalas itu aku masuk sekolah.
Aku memilih kursi yang berada di pojok kiri kelas. Aman bagiku yang selalu merasa sulit bergaul dengan orang-orang baru. Bukannya tidak mau, hanya saja membutuhkan waktu yang cukup lama.

Setelah duduk di kursi, aku mulai mengotak-atik isi ponsel. Melihat isi beranda dan menggeser kesana-kemari layar ponsel. Aku tidak memperhatikan sekitar. Cukup tahu bahwa anak-anak di kelasku memiliki beberapa kenalan dan mereka sedang asik dengan teman masing-masing. Ada yang bermain game online bersama dan bercanda. Sekitar satu atau dua orang yang belajar di tempat mereka. Kaum pintar yang tidak pernah mau membuang waktu mereka untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.

Bel berdering menggema ke seluruh penjuru sekolah. Itu tandanya pelajaran akan dimulai sebentar lagi. Dengan cepat aku memasukkan ponsel ke dalam tas dan menyiapkan buku serta alat tulis yang dibutuhkan.

Setiap siswa dan siswi sudah duduk di kursi mereka. Keadaan kelas hening hanya terdengar suara langkah kaki yang aku yakini itu adalah wali kelas serta guru matematika kami. Pintu kelas yang terbuat dari kayu berwarna cokelat tua itu terbuka menampilkan sesosok pria tua bertubuh agak pendek dengan rambutnya yang mulai memutih. Namun ternyata ia tidak sendirian. Ada seorang anak lelaki yang berjalan mengekorinya.

"Kamu sana duduk di bangku kosong." titahnya pada anak lelaki berwajah polos itu.

Anak laki-laki itu mengangguk singkat kemudian diam sebentar memperhatikan kelas. Mungkin melihat apakah ada kursi kosong yang bisa ia duduki.

Matanya tertuju pada kursi kosong disebelahku. Kalau dilihat-lihat, memang benar yang kosong hanya kursi ini. Jadi dia akan duduk disini?

Kakinya mengambil langkah mengarah padaku, lebih tepatnya kursi disebelahku ini. Ia tidak menggubris keberadaanku saat dia sudah berada di kursinya. Laki-laki itu hanya meletakkan tasnya lalu memperhatikan guru tanpa menyapaku sedikit pun. Jangankan menyapa, melirik saja tidak. Rasanya aku ini hanya sebuah makhluk gaib baginya. Sudahlah, aku tidak ingin ambil pusing. Toh, wajar saja. Kami belum saling mengenal.

Aku memberikan perhatian penuh pada setiap kata yang keluar dari mulut wali kelas kami. Seperti biasa, sambutan awal di tahun ajaran baru. Pengenalan dan sebagainya yang terdengar bosan bagiku. Tak lupa wali kelas kami juga memberikan semangat karena nanti kami akan menghadapi ujian untuk masuk kuliah.

Jika membahas tentang ujian itu, aku seperti ingin menangis. Aku tidak yakin apakah bisa masuk ke universitas yang aku inginkan atau tidak. Nilaiku saja sangat mengenaskan. Aku tidak sepintar murid-murid lain. Otakku kosong.
Baiklah lupakan. Pelajaran matematika pun dimulai. Sang guru mulai menulis berbagai rumus sebagai materi penjelasan hari ini. Tentu dengan angka yang beranak-pinak.

Ditengah-tengah pembelajaran, aku melirik sekilas pada lelaki yang duduk disampingku. Hanya ingin tahu sedikit bagaimana wujudnya. Aku tidak tahu namanya. Perlukah aku bertanya? Kalau dipikir-pikir sedikit aneh aku tidak tahu nama teman sebangkuku.

Sedikit ragu, aku menyentuh lengan kirinya dengan gerakan pelan menggunakan pulpen. Awalnya perhatiannya tertuju pada penjelasan guru kini buyar olehku.

"Hai," sapaku. Jangan ditanya, aku benar-benar canggung dan merasa seperti orang aneh. Senyuman kaku serta tatapan ragu harap-harap lelaki di hadapanku ini tidak menganggapku orang aneh.
Laki-laki itu menatapku. Matanya sedikit melebar. Mungkin terkejut karena aku yang secara tiba-tiba menyentuhnya dan mengajak berbicara.

"Ya?" katanya membalas sapaanku dengan sedikit ragu.

"Emm... Gue Neila. Lo?"

"Gue Ranendra,"

Ranendra. Ternyata itu adalah namanya.

Setelah melakukan perkenalan singkat yang berlangsung sangat aneh, aku tersenyum tipis pada Ranendra. Berbeda dengan lelaki itu yang seperti bingung harus berbuat apa.

Kami berdua kemudian kembali memperhatikan penjelasan guru sebelum nanti benar-benar tertinggal dengan materi. Sesekali aku melirik kearah Ranendra. Sekedar iseng, aku melihat sampul buku tulisnya yang disana tertulis namanya.

Ranendra Abimaraga,tanpa diketahui, nama itu akan memenuhi kisah yang baru saja akan dimulai ini.

Ranendra dan DunianyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang