Kinan membanting tasnya ke atas ranjang, lalu dia terbaring sambil membuang napas kasar. Seminggu tanpa bertemu dengan Fabian, Kinan merasa kosong. Dan saat ia menerima pesan Fabian bisa pulang kemarin, Kinan merasa senang. Sayang, dia tidak bisa datang ke rumah sakit untuk mengantarnya pulang. Kinan sudah teguh pada keputusannya selama ini, jangan sampai dia goyah karena bertemu dengan Fabian lagi.
Rasanya menyakitkan, amat menyakitkan. Namun, Kinan tahu, berpisah adalah jalan terbaik. Bukan Kinan yang Fabian butuhkan, melainkan Valya. Sebelum perasaan mereka semakin dalam, lebih baik Kinan mundur. Semua kenangannya bersama Fabian akan selalu tersimpan di tempat paling istimewa di hati Kinan. Tidak akan ada laki-laki yang bisa seperhatian, sepengertian, selembut Fabian dalam hidup Kinan.
Perhatian Kinan teralihkan saat ada yang memencet bel rumah. Kinan langsung bangkit dari tidurnya dan berjalan keluar kamar.
“Sebentar!” teriak Kinan. Dia segera membuka kunci. Dan saat dia melihat Valya yang berdiri di hadapannya, wajah Kinan berubah datar seketika. “Ada apa, Ya?”
“Ada hal penting yang perlu kita bicarakan sekarang.” Tanpa permisi, Valya menerobos masuk dan duduk di kursi ruang tamu. “Gue enggak butuh minum atau apa pun,” cetus Valya saat melihat Kinan hendak berjalan masuk, menuju dapur. “I just need you to sit down and talk to me right now.”
Tubuh Kinan kembali berbalik. Dia duduk di hadapan Valya, masih memasang wajah datar. “Gue gak bisa ngobrol lama sama lo. Gue baru pulang kerja dan capek banget. Gue butuh istirahat.”
“Kenapa lo enggak datang ke rumah sakit padahal udah berulang kali Fabian telepon? Lo sesibuk apa sampai enggak bisa jenguk pacar lo sendiri, sampai gak bisa bales chat dia?” tanya Valya sejurus kemudian. Dia terus memperhatikan wajah Kinan, menelisik apa yang ada di hati sahabatnya itu. “Dia sedih karena lo enggak dateng selama seminggu ini. Bahkan, Fabian juga hampir menolak pulang karena yakin lo bakal datang.”
“Ya, gue sibuk banget sampai gak punya waktu buat jenguk dia. Hotel lagi banyak tamu dan gue harus kelola arsip administrasi tamu selama sebulan kemarin. Begitu pulang, gue langsung tidur, gak punya waktu buat pegang HP.”
Valya menggelengkan kepala, tidak percaya Kinan bisa berkata demikian dengan nada dingin. “Lo kenapa, sih, Ki? Ada apa sama lo? Gak mungkin ini semua karena lo sibuk. Gue yakin, sesibuk apa pun lo, secapek apa pun lo, lo masih bisa buat jenguk Fabian. Atau, seenggaknya telepon dia buat nanya kabar.”
“Buat apa?!” Nada bicara Kinan meninggi. Dia membalas tatapan Valya dengan kening yang berlipat dan alis yang terangkat tinggi. Pertanda bahwa emosinya mulai tersulut. “Tanpa gue tanya sekalipun, gue udah yakin dia baik-baik aja. Karena gue tahu, akan ada lo yang rawat dia dengan baik. Jadi gue gak perlu khawatir.”
Untuk beberapa saat, Valya hanya terdiam. Mereka tidak pernah terlibat pertengkaran seperti ini, seserius ini. “Maksud lo apa, sih?”
“Gak usah pura-pura bego, Ya. Lo tahu pasti apa maksud perkataan gue barusan.” Kinan tersenyum miring, mencemooh dirinya sendiri. “Gue gak bisa apa-apa. Bantu Fabian minum aja gak bisa. Kupas apel aja gue malah luka. Gue beda sama lo yang cekatan, serba bisa, ahli masak, pintar mengendalikan suasana. Lo bisa ngelakuin semuanya. Jadi, buat apa gue ada di samping Fabian?”
Lagi, perkataan Kinan membuat Valya harus terdiam untuk beberapa saat. Dia sedang mencerna satu demi satu kata yang keluar dari mulut sahabatnya.
Gue gak bisa apa-apa. Beda sama lo. Lo bisa ngelakuin semuanya. Jadi, buat apa gue ada di samping Fabian?
Ternyata, dugaan Dinda benar, Kinan telah salah sangka dengan semua perhatian Valya pada Fabian selama ia dirawat. Dan Valya tidak akan melakukan pembelaan apa pun, karena dia sadar betul itu semua adalah salahnya.
“Ki, gue—”
“Lo ada rasa sama Fabian, 'kan?”
Napas Valya tercekat seketika. Pikirannya kosong, lidahnya kelu. Baru beberapa saat dia bisa mencerna kata-kata Kinan, sahabatnya itu kembali melakukan penyerangan. “Lo ngomong apa, sih? Jangan ngaco, Kinan! Gue cuma anggap Fabian sebagai temen. Gak lebih dan gak akan lebih!”
“Gak usah bohong, deh, Ya!” Suara Kinan lebih tinggi dari teriakan Valya barusan. Ia tidak perlu khawatir, mamanya belum pulang dan kendaraan di Jalan Pungkur akan meredam teriakan mereka. “Kalau lo enggak ada perasaan apa-apa, kenapa lo harus bertindak sejauh ini sama gue, sama Fabian? Lo yang teriak paling histeris waktu lihat Fabian terkapar tak berdaya di jalan raya. Lo pegang tangan Fabian erat waktu dia masuk ruang operasi. Lo juga rela datang tiap hari ke rumah sakit buat rawat Fabian. Dari makannya sampai ganti baju, lo yang ngelakuin. Apa artinya kalau lo enggak ada rasa sama dia?”
Bukannya menjawab, Valya justru semakin membisu. Dia memalingkan wajah dan mengusap dadanya yang terasa sesak. Dan itu membuat Kinan semakin yakin akan prasangkanya selama ini. Valya mencintai Fabian.
“Gue enggak akan marah, kok, Ya. Gue sadar, gue enggak ada apa-apanya dibandingkan lo. You can treat him better than me. Lo tahu selera Fabian kayak gimana, tahu makanan apa yang dia suka, dan lo bisa rawat dia di saat dia enggak berdaya sama sekali. Gue gak marah. Gue akan ikut berbahagia buat kalian.” Saat mengucapkan semua itu, air mata Kinan terus turun membasahi pipi.
“Gue enggak ada apa-apa sama Fabian, Kinan!”
“Gak usah bohong!” jerit Kinan. Dadanya bergerak naik turun, tangisannya semakin menjadi. Ia emosi, tetapi juga sakit hati. Bukan karena perasaan Valya, tetapi karena harus melepaskan Fabian. “Semakin lo bohong, semakin semuanya jelas buat gue.”
Tanpa sadar, tangan Valya terkepal kuat. Dia menatap Kinan dengan tajam. “Kalau lo ngomong kayak gitu, berarti tujuan lo bukan nanya tentang perasaan gue buat Fabian. Lo gak butuh kejujuran gue. Lo cuma lagi berusaha membenarkan prasangka lo.” Kali ini Valya tertawa sumbang. Dia menjambak rambutnya sendiri dan menatap Kinan penuh kecewa. “Seriously, Ki? You do this to me?”
“And how about you? You think, I was fine seeing all your attention to Fabian over this time? No! Big no, Ya!”
Sepuluh tahun bersama bukanlah waktu yang mudah untuk mereka berdua. Asam, manis, pahit persahabatan sudah mereka cicipi bersama. Di atas atau di bawah, mereka lalui bersama. Tak selalu se-iya dan se-kata, tak terhitung berapa kali mereka berselisih sampai bersilat lidah. Namun, ini adalah yang terbesar di antara semua pertengkaran mereka.
“Ki, kita udah bareng selama 10 tahun. Selama itu, kita berbagi cerita, berbagi waktu bareng-bareng. Lo tahu banget gue gimana. Dan lo masih bisa enggak percaya sama gue?”
“Justru karena kita udah bareng-bareng selama itu. Justru karena gue tahu banget lo gimana. Makanya gue yakin sama prasangka gue.” Kinan menarik napas dalam-dalam. Dia menatap Valya dengan penuh percaya diri. Lalu, kembali berkata, “Lo adalah orang pertama yang bakal mengorbankan kebahagiaan lo buat gue. Dan melepaskan Fabian adalah salah satunya. Dan sekarang, biar gue yang melakukan itu. Biar lo gak usah berkorban lagi.”
*
*
*Tegang amat nih Kinan sama Valya. Siapa yang bakal menang ya? Dan siapa yang bener di sini?
Bini Ceye,
19.00, 23 Desember 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma [Tamat]
RomansCinta bisa datang karena terbiasa, beberapa orang setuju akan hal itu. Cinta juga bisa menyelinap diam-diam dalam interaksi dua insan yang kata orang 'tidak seharusnya mereka jatuh cinta'. Sejatinya, cinta adalah perasaan suci yang membawa perdamaia...