🕊. ―fifty fifth

179 31 14
                                    

Sekarang tubuh Sojung berada di atas ranjang, dengan posisi menghadap ke samping, memerhatikan bayinya yang sedang tidur siang. Hani tumbuh begitu cepat, bayi itu tumbuh dengan rupa yang cantik. Rupa wajah Sojung dan suaminya, berpadu dengan sempurna pada Hani. Sojung menyukai wajah Hani, tidak bisa dipungkiri.

Tangannya tergerak untuk menyambar pipi gembil Hani. Dia mengelus pipi itu dengan penuh kehangatan, dia tertawa sangat tipis ketika menyadari bayi secantik ini dulu ada dalam perutnya. Hani tinggal dalam perut Sojung lebih dari sembilan bulan. Waktu yang cukup lama, untuk Sojung beradaptasi dengan kehadiran dia dalam tubuhnya.

Karena Hani, dulu Sojung mengalami banyak perubahan. Mulai dari berat badannya, kenyamanannya saat tidur, perubahan nafsu makan, juga ketidakstabilan emosinya.

Dulu, Seokjin menjaganya dan Hani dengan baik. Ketika Sojung marah, Seokjin sama sekali tak membalas Sojung dengan amarah pula. Pria itu lebih memilih mengalah, menghindar sebentar, setelah itu dia datang lagi dan meminta maaf pada Sojung walau sebenarnya yang terjadi adalah bukan karena kesalahannya.

Dipikir-pikir, Seokjin adalah laki-laki yang hebat. Dia tangguh, cukup sabar dan pandai mencintai istrinya. Dibanding kesalahan yang baru-baru ini terjadi, Seokjin lebih banyak bersabar dan memberi Sojung kasih sayang.

Seokjin selalu mengalah saat pertengkaran mereka terjadi waktu Hani masih dalam kandungan Sojung. Seokjin selalu jadi yang pertama untuk mulai merubah suasana. Pria itu bertindak seolah-olah tak pernah ada pertengkaran yang terjadi di antara mereka, atau kalau Sojung tetap marah pada Seokjin usai selisih paham itu ... pria itu pantang menyerah dan tetap berusaha membujuk Sojung sampai akhirnya wanita itu kembali.

Pemikiran Sojung semakin larut. Hatinya semakin bimbang. Banyak pertanyaan yang muncul di benaknya.

Apa ini keputusan yang tepat?

Bagaimana selanjutnya?

Resiko apa yang terjadi kalau wanita itu memilih salah satu di antara dua pilihannya?

Kesehatan mental Hani di masa depan, apa perlu dia pertimbangkan sejak saat ini?

Sekali lagi, apa benar ini keputusan yang terbaik untuk dia, suaminya juga anak-anaknya?

Sojung mendesah ringan, dia menghela napasnya. Sojung tidak tahu sekarang. Tekat Sojung yang tadinya bulat, sekarang justru seolah hancur perlahan. Hati dan pikirannya tidak berjalan satu arah. Lantas, bagaimana? Apa yang harus Sojung lakukan sekarang?

Benar-benar membingungkan.

― ♡ ―

Sojung tidak tahu kenapa dari tadi Hani tertawa, bahkan dengan hal yang kecil yang Sojung lakukan di depan anak itu. Usai bangun dan mandi sore, Hani tampak lebih bersemangat. Senyumannya sangat lebar, terasa sekali kebahagiaan yang timbul akibat itu bagi Sojung.

"Anak Mama lagi happy, ya." Sojung mencoba mengajak anaknya berbicara, sambil melempar beberapa bola kecil ke atas untuk dimainkan. Hani tertawa, tanpa henti.

"Kamu ini ya, ketawa terus sekarang. Kenapa sih? Hani seneng karena apa?" Ketika ditanya Sojung seperti itu, Hani malah menutupi wajahnya dengan tangan mungilnya. Dia tertawa dan bertindak seolah-olah bahwa dia malu-malu pada Sojung.

"Aduh, anak Mama malu." Sojung ikut menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Mengintip lewat sedikit celah, untuk melihat apa yang Hani lakukan saat wanita itu menirunya.

Hani tertawa, bertepuk tangan dan menatap Sojung dengan semangat. Saat Sojung menjauhkan kembali tangannya dari wajah, wanita itu langsung menghujami Hani dengan ciuman gemas. Bayi kecil ini, selalu berhasil mencuri hati Sojung.

"Anak siapa sih, kamu? Kok lucu banget?" Sojung tertawa usai bertanya begitu. Dia mengecup Hani sekali lagi sebelum mengangkat anak itu―yang tadi duduk bersandar pada tumpukan bantal―turun ke bawah.

"Temenin Mama masak. Mau, ya?" Sojung menggendong Hani, dengan hati-hati dia menuruni tangga. Langkah kakinya berakhir di dapur.

Ayah dan Ibunya belum pulang. Entah kapan mereka akan pulang, tapi Sojung sangat berharap bahwa Ayah dan Ibunya segera pulang. Hanya berdua dengan Hani di rumah sebesar ini, Sojung tahu bahwa bahaya mengancamnya. Dia harus hati-hati, apalagi ada bayi yang harus ia jaga.

"Anak Mama bisa nggak ya, duduk di sini?" Sojung meletakkan Hani di atas meja makan, dia mencoba mendudukkan Hani tanpa penyangga di belakangnya. Dia ingin tahu, apa bisa Hani duduk tegak tanpa penyangga di belakangnya.

"Eh." Sojung tertawa saat Hani oleng ke belakang. Dia dengan cekatan langsung menahan tangan Hani juga tubuh bagian belakang bayi itu. Karena tahu bahwa Hani tak bisa duduk tegak tanpa penyangga, Sojung berjalan ke arah ruang tamu dan mengambil bantal sofa di sana.

Dia mendudukkan anaknya lagi di atas meja, tidak terlalu dipinggir, karena takut Hani jatuh. Untungnya, Hani bukan bayi yang aktif, yang suka tiba-tiba berpindah posisi dan mengejutkan orang tuanya. Hani lebih banyak diam, tapi tidak mengurangi sikap tanggapnya pada keadaan sekitar.

"Mama tinggal masak dulu, ya," pesan Sojung sambil mengusap halus pipi anaknya. "Hani di sini, ya. Diem aja, liatin Mama. Oke?"

Sojung tersenyum dan berbalik. Dia mulai menyiapkan beberapa bahan makanan yang akan ia masak sekarang. Tak banyak, karena Sojung hanya akan memasak pasta instant. Wanita itu hanya akan menambahkan udang sebagai topping pada pastanya. Menambahkan sedikit bawang putih, juga oregano pada bumbunya.

Sojung sedang mengisi pancinya dengan air, untuk merebus pasta. Usai itu dia meletakkan panci di atas kompor, memasukkan sedikit minyak dan ...

Bugh!

Sojung menoleh tepat saat Hani menangis kencang. Sojung memastikan bahwa kompor memang belum menyala, lalu dia buru-buru menghampiri anaknya. Hani ... jatuh ke belakang karena bantal yang menyangga tubuh anak itu bergeser, entah bagaimana ceritanya.

Sojung panik, tapi dia tetap berusaha untuk meredakan tangisan anaknya. "Nggak pa-pa, Sayang. Aduh, maafin Mama, ya."

Sojung sudah memeluk tubuh anaknya, mengelus halus bagian kepala Hani yang terbentur. Berharap dengan begitu, sakit yang diderita Hani akan berkurang.

Usapan di kepala Hani terhenti saat Sojung menyadari ada benjolan di kepala anak itu. Tanpa pikir panjang, Sojung langsung mengambil ponselnya di atas, dia menghubungi Seokjin saat itu juga.

"H-halo?"

"Halo, Jung. Kenapa?"

"Kamu masih ngajar, atau udah pulang?"

"Udah pulang sih, harusnya. Cuma lagi kumpul sama temen-temen dosen yang lain. Ada apa? ―Hani nangis di situ?"

Sojung menatap anaknya yang masih menangis di pelukannya. Dia mengangguk tanpa Seokjin tahu. "Kepala Hani kebentur meja, dia nangis kenceng banget sekarang. Saya ... saya takut, saya bingung. Apa bisa kamu ke sini sekarang?"

"Bisa. Kebetulan tempat kumpulnya nggak jauh dari rumah kamu," jawab Seokjin di sebrang sana. "Sekarang, kamu siapin apa-apa aja yang penting untuk dibawa. Begitu saya sampai, kita langsung jalan ke rumah sakit."

Sojung mengangguk dan segera menutup telfonnya. Dia bergegas mengambil jaket Hani, memakaikan anak itu jaket. Ketika tangisannya justru semakin kencang, Sojung berusaha untuk menenangkannya dengan memberikan Hani ASI.

Hani menerima, namun tak lama dia melepas mulutnya. Dia menangis lagi. Karena hal itu, kekhawatiran Sojung bertambah. Melihat Hani menangis begini, adalah kelemahan Sojung.

"Maafin Mama, Sayang. Jangan nangis lagi, ya ...."

Nihil. Hani tak menghentikan tangisannya. Bahkan sekadar merespon, pun tidak anak itu lakukan.

― ♡ ―

A/N;
dede hani, maaf ya, kamu harus berkorban biar papa sm mama bisa ketemu lagi😭

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang