❤️12 Makin sulit

16.6K 2.7K 78
                                    

Abimanyu sedang sangat sibuk. Beberapa hari ini bahkan dia tidak mengirimiku kabar. Padahal aku sangat ingin mendengar kabar tentang Ibu Ani. Karena saat aku ke rumah sakit tempat Ibu Ani dirawat, beliau sudah dipindahkan. Saat aku menelepon Abimanyu nomernya tidak aktif. Begitupun juga dengan nomer ponselnya Sinta. Keduanya sepertinya sama-sama menghilang.

Pasti ada sesuatu yang serius dengan kesehatan Bu Ani kalau Abimanyu tidak memberiku kabar. Aku jadi merasa bersalah, mungkin karena aku Bu Ani jadi begitu. Memang seharusnya aku tidak masuk dalam kehidupan Abimanyu, sehingga semua akan baik-baik saja.

"Bunda... om Dokter kenapa nggak ke sini lagi?"

Pertanyaan Ica membuatku tersadar dari lamunan. Aku menoleh ke bocah kecil yang sekarang sedang menyusun puzzle gambar Ana dan Elsa itu. Ica juga ingin dikepang seperti Elsa dan memakai baju yang dibelikan Hendra kemarin. Entah kenapa Hendra menjadi baik dan membelikan Ica berbagai macam baju dan juga mainan. Hal itu malah membuatku jengah, meski Ica merasa senang.

"Om Dokter lagi sibuk nyuntik pasien."

Aku mengusap rambut Ica yang sudah panjang sebahu itu. Dia mendongak dan menatapku. Matanya yang bulat itu mengerjap.

"Owh jadi nggak ke sini lagi?"

Aku tersenyum mendengar celetukannya yang polos itu.

"Kalau Ica mau maem dan minum susu dihabisin pasti Om Dokter ke sini lagi. Gimana?"

Ica seketika langsung menganggukkan kepala.

"Mau Bundaaaa.... Minum susu coklat."

****

Suara ketukan di pintu depan membuatku terkejut. Ini sudah pukul 12 malam. Bahkan aku baru saja memejamkan mata setelah Ica rewel minta nonton serial Frozen di ponsel.

Aku mengernyitkan kening. Siapa gerangan yang bertamu malam-malam begini? Aku sedikit merasa takut, karena tidak biasanya ada orang yang mengetuk pintuku malam begini. Tapi ketukan itu makin terdengar nyaring dan aku takut tetangga sebelah terganggu. Akhirnya aku beranjak bangun dari atas kasur setelah membenarkan selimut Ica. Melangkah perlahan keluar dari kamar dan menuju ruang tamu.

Saat aku dengan ragu-ragu membuka kunci pintu, setelah terbuka aku dikejutkan oleh seseoang yang menerobos masuk begitu saja. Tentu aku merasa panik dan ingin berteriak saat dia berbalik.

"Hendra? Ngapain kamu ke sini?"

Wajah Hendra tampak kusut dan aku yakin dia pasti langsung dari kantor karena dasi masih melingkar di lehernya meski sudah dilonggarkannya.

Dia menatapku dengan muram.

"Ndis, boleh aku nginep di sini?"

Mataku membelalak mendengar pertanyaannya. Langsung kugelengkan kepala.

"Enggak boleh. Aku sedang menjaga nama baikku di sini. Apa kata tetangga kalau aku memasukkan seorang pria ke dalam rumah."

Tapi Hendra sepertinya mengabaikanku dan kini malah duduk di atas sofa. Dia menyandarkan kepalanya.

"Malam ini aja Ndis. Aku lelah. Ijinkan aku tidur di sini. Di sofa ini juga boleh, aku butuh istirahat."

Aku bersedekap dan kini berdiri di depannya.

"Pulang Hen. Kita sudah bukan suami istri. Dosa. Aku tidak menerima seorang pria."

Kali ini mata Hendra menatapku.  Tidak ada tatapan angkuh darinya saat ini.

"Aku mohon Ndis. Aku nggak akan ganggu dan sebelum subuh aku udah pulang. Tapi malam ini aku ingin tidur di sini. Aku nggak bisa pulang ke rumah."

Penjelasannya membuatku kini menghela nafas "Istri kamu nggak nyariin?"

Repihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang