Suara pendingin ruangan yang bergemuruh lirih, berpadu dengan detikan jam dinding yang terdengar konstan. Seorang gadis berpakaian serba putih, sibuk meraut pensil dengan rautan berbentuk karakter kucing merah muda, menatanya dengan rapi di atas meja dan mulai tersenyum saat lima pensil utuhnya, kini sudah tajam dan siap untuk digunakan. Keningnya mengernyit seraya mengangkat satu pensil di barisan ketiga yang sedikit menggelinding saat terkena helaan nafas bahagianya, merapikan hingga semuanya sejajar, barulah ia mengangkat pandangan dari meja kayu ek berwarna coklat muda.
Mejanya dikotori oleh sisa-sisa rautan, terdapat beberapa tisu lusuh yang berwarna kehitaman ikut meramaikan meja yang rapi itu. Satu tarikan tisu, digunakan untuk menyeka jemari kurus yang terkena kotoran. Begitu dirasa jemarinya sudah bersih seperti semula, tisu itu dikumpulkan menjadi satu, dan dibuang pada tempat sampah kecil di dekat meja.
Semua kembali rapi, gadis itu pun melipat kedua lengan dengan senyuman bangga.
"Kau sudah selesai, Quinzel?" Lirih seorang wanita dengan pakaian khas dokter.
Dari papan akrilik di atas meja, tertulis Cassandra Elodi, B.S., M.Si., Ph.D. Wajah pemilik rambut keabuan karena usia itu, dibingkai dengan kaca mata tebal yang menandakan ketekutan, wanita itu memiliki tatapan kebibuan yang tak pernah lelah memandangi sosok Quinzel yang terkesan arogan.
Tiga puluh menit sesi konseling sudah berlalu, namun Quinzel hanya sibuk meraut pensil dan diperhatian seksama oleh Dokter Cassandra, tanpa sedikitpun mengeluarkan suara.
"Aku akan tetap diam, sebelum dia yang mulai menceritakan semuanya. Jadi, kau tidak perlu membuang waktu hanya untuk menemani aku meraut pensil."
Cassandra kembali tersenyum keibuan, menautkan jemarinya yang bertemu di atas meja. Pandangannya masih teramat fokus pada Quinzel yang sibuk bermain dengan rambutnya yang sudah mulai panjang.
"Kau tetap tidak akan menceritakan kebenaran yang terjadi di malam itu? Kau bisa saja membela diri dan terbebas dari tuduhan, asal alibimu sesuai dengan fakta. Kau-"
"Bisakah bawakan makananku, sekarang?" Sahut Quinzel setelah menguap tanda bosan.
Dokter Cassandra menghela nafas lalu bangkit dari duduknya, meraih kantung makanan berwarna coklat dengan logo M, lalu meletakkannya di atas meja. Itu adalah makanan wajib yang harus selalu ada setiap kali bertemu dengan Quinzel.
"Oke, tugas rumahmu masih sama dengan pertemuan kemarin. Kau-"
"Aku sudah tau, Cass. Jadi bisa biarkan aku makan burgerku?" Quinzel melotot dengan tak bersahabat.
Saat Cassandra mengangguk, barulah gadis itu tersenyum riang dan mulai melahap makanan dihadapannya.
"Makanlah dengan baik dan pikirkan ucapanku tadi. Kau bisa kembali bertemu keluargamu jika mau mengatakan yang sebenarnya."
Seolah tak peduli, Quinzel hanya asik melahap makanannya dengan mata berbinar. Menghiraukan Cassandra yang kembali menghela nafas untuk kesekian kalinya dan berbalik, sama sekali tidak menoleh ke belakang. Quinzel mengamati Cassandra yang melepas kaca mata dan memijat pangkal hidung, terdengar suara pintu yang terbuka dengan lirih.
"Bisakah kau menamaniku makan siang?"
Cassandra menoleh dengan cepat, matanya yang terlihat semakin kecil karena terbiasa dengan bingkai kaca, kini terlihat melotot lebar dan polos. Dengan senyum keibuannya, wanita itu kembali menutup pintu dan menarik sebuah kursi tanpa menimbulkan deritan. Dia duduk dengan tersenyum tipis, memangku buku catatan di atas paha dan menyamankan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
WILD
Mystery / Thriller⚠️ Adegan Kekerasan (Sequel Affair) Ini bukan hanya tentang kenakalan remaja SMA biasa, namun tentang bagaimana sekelompok remaja berlatar belakang baja, yang bersenang-senang dengan kehidupan liarnya. Inilah kisah bagaimana mereka menyakiti, menin...