Kesan yang Tertinggal

0 0 0
                                    

“Waaahh… pasti karena pemainnya kece-kece yaa??”

Virzha lagi mampir ke ruang kelas XI-IPA-2 yang ada di seberang lokal kelas IPS. Jadi cewek ini nggak lihat Ariel jalan ke kantin lewat teras kelasnya. Ada tiga cewek yang ada di kelas itu. Karen, Anita, dan Rachel.

Nama Virzha mulai dikenal hampir semua warga sekolah, karena prestasinya sebagai kapten cheerleader setahun sebelumnya. Meskipun Karen, Anita dan Rachel masih jadi anggota cheers sejak kelas X, Virzha justru mengundurkan diri saat naik kelas XI. Dia beralih gabung klub mading Praja Membaca, yang gandengan sama KIR alias Karya Ilmiah Remaja. Dan cewek itu sekarang lagi nulis tentang pertandingan penyisihan yang begitu menyedot perhatian dan euforia penonton.

“Eeengg…” pulpen pink di tangan Virzha mendadak berhenti bergerak, begitu disahut Karen yang duduk pas di depannya. Postur badannya lebih mungil, dibanding Virzha yang dicap 'tiang listrik' oleh ketiga cewek itu.

“Aku nggak merhatiin mereka cakep apa enggak. Yang terpenting itu, suasana sama jalannya permainan kayak gimana,” ujar Virzha kemudian.

“Oooohh…” Rachel cuma manggut-manggut. Kedua matanya yang sipit nggak jauh-jauh dari Virzha yang melanjutkan tulisannya.

“Jadi penulis emang asik ya,” celetuk Karen yang duduk pas di samping Rachel.

“Apanya yang asik?” tanya Rachel.

“Yaa.. apa yang kita rasain bisa aja keluar lewat tulisan. Bisa jadi cerpen tuh, hehehe,” Karen tertawa kecil.

“Kalau kamu mau kirim aja ke aku, nanti aku muat,” kayaknya Virzha nguping ucapan Karen. Tentu aja Karen langsung  surprised.

“Tapi…” Karen tercenung sejenak. “aku sendiri belum kepikiran nulisnya.”

“Nggak apa-apa, masih aku tunggu loh.”

“Siap, makasih yaa.”

Nggak lama kemudian, tulisan Virzha udah memenuhi sehalaman buku tulis besar. Buku bersampul hitam itu khusus dibawa Virzha buat nulis topik menarik yang bakal dimuat di mading. Dari ekspresinya, cewek itu kelihatan nyantai banget. Sepertinya dihampiri perasaan lega.

“Oh iya ya, kita ikutan support tim kan? Seru parah sih, kayak yang ada di TV," celetuk Rachel.

Virzha menggeleng pelan. “Tapi maaf banget, itu nggak ada live streaming-nya. Ya kali kalau sekolah punya alatnya. Lebih dapet pengalamannya kalau nonton langsung," selorohnya.

“Jadi yang ikutan nonton bareng jurnalis sekolah, itu juga seru parah loh. Pecah malahan,” timpal Anita. Dalam pandangan Virzha, cewek ini super lincah di cheers, tapi nggak banyak ngomong di luar kegiatan timnya.

Virzha cuma tersenyum. Iya-iya-in aja deh. Daripada suasana garing kayak gini.

******
Malam harinya, Virzha memandangi beberapa foto bersama tulisannya di kamar. Di sana cuma ada kasur yang disampul seprei Hello Kitty, juga meja kecil, rak buku, dan cermin. Semuanya bernuansa pink pastel. Virzha menyukai warna itu karena cocok dengan pembawaan girly-nya, meskipun juga kalem dan nggak mendrakor *eh dramatis.
Kedatangan Vidi bikin cewek ini kembali ngerasa jantungnya kelempar sampai India.

“Kak Virzha?” suara (hampir) cemprengnya Vidi seketika membuyarkan fokus Virzha.

Virzha menghembuskan nafas sejenak. “Napa, Dek?”

“Kakak bikin apa?” Vidi yang baru jalan 14 tahun itu kemudian deketin kakaknya.

Virzha kemudian menyodorkan salah satu foto ke tangan Vidi. Foto yang dijepretnya sendiri dengan kamera ponselnya. Sebenarnya Virzha dibeliin kamera digital sama papinya. Tapi saat pertandingan penyisihan itu, Virzha buru-buru berangkat, sampai-sampai kamera itu masih bertengger manis di mejanya.

PLAYMATE [Preview]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang