20) Memancing

0 1 0
                                    

Aku mengecek laci mejaku, siapa tahu aku melupakan barangku yang seharusnya kubawa pulang. Beberapa hari yang lalu saat aku pulang sore, aku meninggalkan kotak makanku di laci. Pulang-pulang aku diomeli ibu hampir tidak berhenti sampai datang hari besoknya. Benar saja. Aku mensyukuri munculnya inisiatif mengecek laci meja yang jarang sekali aku lakukan selama aku duduk di bangku sekolah. Aku tidak terbiasa membawa kotak makan ke sekolah, hampir saja benda itu tertinggal. Dengan cepat aku memasukkan benda itu ke dalam tas.

Hari ini ketika bel pulang sekolah dibunyikan, aku sedang berada di dalam kamar mandi membuang urine. Begitu aku ke luar dan sampai di dekat aula, teman-teman setimku sudah menyesaki pintu masuk bangunan itu. Aku memutuskan langsung ikut latihan saja daripada harus ke kelas di depan agak jauh sana, lalu menaiki tangga hanya untuk mengemasi barang-barangku, lalu turun lagi menuju aula. Tenagaku tidak banyak meski sudah dikirimi nasi oleh Kak Aron. Supaya waktuku dan teman-teman juga tidak terbuang lebih banyak. Karena itulah jam empat sore kali ini aku masih berkeliaran di gedung kelas.

"Ulfa!" Aku menoleh ke kanan, mengintip kelas di sampingku. Tidak kutemukan siapa-siapa, akhirnya aku membalikkan badanku.

"Burhan? Kenapa?" Kupikir hanya aku yang ada di gedung kelas duabelas itu. Kami menuruni tangga beriringan.

"Tadi gimana? Bener nggak tebakanku?" Mungkin karena aku terlalu memperlihatkan kebingunganku, dia melanjutkan ucapannya. "Tadi, tebakanku kalok yang ngasih kotak makanannya pacar kamu."

Aku diam sebentar sebelum mengatakan kalau dia salah. Kak Aron bukan pacarku. Setelah itu aku mendengkus. Di mana-mana, dituduh yang bukan-bukan tetap terasa menjengkelkan. Aku tahu maksud teman-temanku hanya bercanda, tapi kan bisa bercanda dengan cara lain. Tidak harus dengan menggodaku begini begitu.

"Halah, terserahlah sesukamu aja. Yang jelas aku bener, kan? Nah, nggak mau nurutin mauku, nih?"

Aku mengingat-ingat percakapan yang terjadi di antaraku, Burhan, dan Febi di kelas tadi. "Yang kalok kamu bener aku harus hilangin sok tahunya Febi?" Burhan mengangguk sambil memejamkan matanya. "Dia aslinya nggak gitu, kok. Tadi itu cuma reflek aja mungkin. Kamu ngapain tiba-tiba mikirin Febi? Disuruh Gibran buat mata-matain dia, ya? Ngaku kamu!" Ekspresiku berubah serius. Aku baru ingat kalau dia dengan mantan Febi berada di satu kelas tahun ini.

Mataku tidak lepas dari wajahnya. Aku tidak hanya fokus menatap satu objek di wajah itu, tapi semuanya, mungkin saja aku menemukan kebohongan dari bagian tubuh itu. "Pikiranmu negatif banget!"

Sesuatu yang terjadi tiba-tiba memang patut dicurigai. "Awas kamu kalok bohong!" ujarku pada akhirnya karena tidak menemukan tanda-tanda kebohongan Burhan. Lagi pula dia adalah anak dari seorang tokoh agama di lingkungannya. Aku bisa tidak terlalu curiga padanya. Lagi pula juga, Gibran sudah benar-benar tidak peduli pada Febi mau dia salto, atau hobinya berganti memanjat tebing, atau lainnya. Kecuali kalau Febi mengusik Gibran lebih jauh dari yang sudah-sudah, dia menyuruh Burhan atau orang lain memata-matai Febi baru terasa lebih mungkin.

Tinggal sedikit langkah lagi aku akan tiba di gerbang sekolah. Burhan memanggilku untuk meminta lirik lagu yang tadi kami pelajari ternyata. "Aku kan ngetik liriknya di status WA, tadi waktu mau ke luar kelas, langsung aku pencet home terus aku hapus bekas pemakaian aplikasi di hapeku. Jadi ya hilang," katanya.

Beberapa temanku masih berlalu-lalang di sekitarku. Masih ada saja yang belum pulang, tidak tahu habis melakukan apa dan di mana. Aku dan Burhan berhenti di pinggir gerbang, masih termasuk area sekolah. Di saat aku dengan santai mengetik kata demi kata lirik lagu itu, aku mendengar suara kaki-kaki berlarian. Aku tidak menengoknya agar permintaan Burhan selesai kupenuhi dengan cepat.

Dasarnya kalau orang berlari itu memang tidak hati-hati, tubuh salah satu dari mereka pun menabrakku. "Ulfa!" Aku mendengar pekikan dua orang yang berbeda saat aku akan rubuh ke bawah. Juga ucapan minta maaf yang buru-buru sekali dan tidak ikhlas dari orang yang menabrakku.

UnchangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang