Green Tea Latte

5 1 0
                                    


"Green tea latte ukuran grande, less ice, no whiping cream ya mas" aku menyebutkan dengan cepat pesananku, membayar kemudian menghampiri Tia yang sedang asik dengan cheese quiche-nya.

"Hallo sunshine!" sapa Tia setelah aku berhasil menoyor pundaknya. Aku melotot pertanda bahwa suaranya terlalu kencang untuk kafe yang sedang hening ini. Tia hanya tersenyum menunjukkan deretan giginya yang masih belepotan dengan cheese quiche. "Gimana kabarnya yang udah jomblo 3 bulan? Yok semangat yok, jangan mau kalah sama tetangga sebelah yang sudah ganti status" Tia cekikian.

"Lo ada masalah sama Dama? Kalau ada masalah selesaiin, jangan dibawa gila pas lagi ngobrol sama gue doooooong!" semburku. Tia melengos, aku tertawa puas. Satu sama. Hubungan Tia dan Dama sedang tidak baik-baik saja pasca aku putus dengan Aji. Sepertinya setengah dari jiwa Tia menginginkan kebebasan sepertiku, tapi setengahnya lagi masih dipengaruhi jin iprit hahaha. "Ti, gue mau cerita" tiba-tiba air mukaku berubah serius. Tia si gampang penasaran langsung merapikan duduknya, "Apa? Cepetan deh lo jangan kelamaan, kesel gue nunggunya" cerocosnya.

Aku memberikan ponselku. Menunjukkan isi chatku dengan Mas Yoga, senior di studi lapangku. Tia membaca semua chat, butuh satu gelas green tea untuk menunggu Tia menyelesaikan Iqra jilid 1 di ponselku.

"Ti, sorry ya, gue ngga maksud..." aku menceritakan bagaimana awal aku dan Mas Yoga dekat. Mas Yoga sebelum ini mendekati Tia, aku tahu itu. Tapi yang aku tidak pernah tahu, Mas Yoga akan beranjak menujuku setelah dari Tia.

"Aelah, gapapa kali Chi. Gue udah ngga deket ini sama dia. Gue Cuma mau kasih tau lo, ati-ati aja. Hmm satu lagi, kalau deket sama dia bikin lo bahagia, gue ikut bahagia Chi. Count on me!" aku terdiam, mulai berkaca-kaca. Aku menyayangi Tia seperti saudara kandungku sendiri, sebelum ini aku tidak pernah memiliki kedekatan di level ini dengan teman-temanku. Bagiku, Tia adalah hal yang paling berharga setelah keluargaku. Aku takut akan menyakiti Tia karena kedekatanku dengan Mas Yoga. Aku takut kehilangan Tia. Trauma tentang pertemanan di masa lalu, bullying di masa kecil membuatku menempatkan Tia di level teratas pertemananku. Aku tidak pernah menemukan teman sebaik dan setulus Tia di dalam hidupku.

"Tia, gue mau pesen peanut butter panini dulu ya. Laper gue" aku berlalu ke counter pemesanan. Mencoba mengalihkan rasa bersalah dalam diriku.

---

Beberapa bulan setelah menceritakan kisahku dengan Mas Yoga pada Tia, tidak ada yang berubah dalam pertemanan kami. Masih sama. Meskipun aku ragu Tia tidak menyimpan amarah dan kesal padaku, dan meskipun aku terus dihantui rasa bersalah pada Tia sampai hari ini. Tia tidak pernah menolak setiap kali aku mengeluh atas kisahku dengan Mas Yoga. Masih sama dengan sebelumnya.

Sedangkan kisahku dengan Mas Yoga beberapa bulan ini sungguh luar biasa. Mas Yoga dihadapkan dengan kisah perjodohan yang diinginkan oleh orangtuanya, dan aku, aku tidak tahu dimana posisiku. Mas Yoga pernah memintaku untuk bersedia bertunangan, tapi aku menolak. Aku masih terlalu muda. Kuliahku saja belum beres. Selain itu, aku tidak mungkin tiba-tiba muncul sebagai anak bawang yang menghancurkan kisah perjodohan yang sedang dipersiapkan oleh orang tuanya.

Aku menikmati hari-hariku bersama Mas Yoga. Kami sering menghabiskan waktu untuk saling bercerita. Mas Yoga tidak pernah absen untuk meneleponku di pagi dan sore hari, katanya "Temenin aku perjalanan ke kantor ya" kebetulan kantornya di daerah Depok dan rumahnya di Tangerang. Bersama Mas Yoga, aku merasa hidupku ditata sedemikian rupa, banyak hal yang Mas Yoga rencanakan untuk masa depanku, juga masa depan kami. Tangerang-Bandung tidak pernah menjadi masalah saat itu.

Mas Yoga adalah green tea latte favoritku. Improves mood, energy and memory. Persis seperti itu. Tawanya menular, sabarnya mengagumkan. Aku memuja Mas Yoga sampai aku lupa bahwa seharusnya tidak seperti ini perjalanan kami. Aku terlena dan terlalu menikmati.

Sabtu sore itu Mas Yoga menelepon seperti biasa, setelah itu dilanjut dengan chat hingga pukul 4 pagi. Bukan Mas Yoga yang biasanya, bukan Mas Yoga yang akan riweuh memintaku tidur jam 9 tepat. Aku menemaninya. Tanpa aku tahu alasan dari kegiatan begadang ini haha. Sampai akhirnya aku tahu dari salah satu teman Mas Yoga, bahwa hari Minggu tepat pukul 7 pagi, Mas Yoga melangsungkan akad nikah dengan wanita pilihan ibunya.

Tanganku gemetar, mencoba menenangkan diri. Mencoba untuk menasehati diri sendiri bahwa tugasku telah selesai untuk mengembalikan Mas Yoga ke jalan yang seharusnya. Tapi tangisku pecah hari itu. Sesak. Aku menemukan orang yang kukira akan berakhir dengan baik bersamaku. Pahit sekali rasanya.

Senin pagi Mas Yoga menghubungiku seperti biasa, seperti tidak ada yang salah dengan pernikahannya. Katanya, "Tunggu aku ya Chi, aku bereskan ini semua. Kasih aku waktu tiga bulan. Please tetap ada diposisi kamu sekarang, temenin aku" Mas Yoga menangis mengucapkan sederet kalimat yang membuat aku pun ikut menangis. Hari itu aku benar-benar tidak tahu langkah apa yang harus aku ambil.

Tiga bulan Mas Yoga tetap menjadi Mas Yoga-ku yang tidak berubah. Dia tidak tinggal serumah dengan istrinya. Aku tahu posisiku salah, berkali-kali aku ungkapkan "Mas, boleh ngga kalau aku minta mas balik ke dia. Aku gapapa mas, please ya mas?" tapi berkali-kali dipatahkan olehnya. Dalam doa yang aku panjatkan setiap hari pun sama, aku hanya meminta Tuhan untuk mengembalikan Mas Yoga pada rumah tangganya dan hatiku dikuatkan untuk ditinggalkan. Aku memaknai mencintai tanpa harus memiliki di usiaku yang baru menginjak 22 tahun.

Seminggu sebelum ulang tahun Mas Yoga, doaku dikabulkan oleh Tuhan. Kami saling melepaskan, saling merelakan. Tia yang menemaniku hari itu memelukku yang menangis tiada henti. Aku melepaskan green tea latte favoritku, melepaskan dengan sebaik-baiknya. Melepas di waktu yang memang Tuhan inginkan. Tapi aku tidak pernah sedetikpun menganggap Mas Yoga brengsek, aneh memang. Bagiku, sampai hari ini, Mas Yoga adalah orang baik. Orang yang sangat baik.

Dulu, aku kira mencintai tanpa harus memiliki itu bullshit sampai akhirnya aku bertemu dengan Mas Yoga. Bertemu dengan orang yang kuikhlaskan bahkan pernah kudorong untuk bersanding dengan yang lain. Selamanya, Mas Yoga akan menjadi pelajaran yang berharga untukku. Tentang sabar menanti ketidak-pastian, tentang tetap tenang di tengah badai, tentang mengerti tanpa menuntut penjelasan, dan tentang ikhlas melepaskan.

TEA OF MY LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang