Kata orang, cara paling ampuh untuk menyembuhkan patah hati adalah dengan jatuh cinta lagi. Tapi bagaimana jika kepercayaan pada cinta terlalu tipis? Berbulan-bulan aku bergelut dengan rasa sedih berkepanjangan, rasa sedih yang tanpa aku sadari aku nikmati dengan baik. Aku lebih setuju dengan kalimat, cara paling ampuh untuk melupakan rasa sedih adalah dengan menyibukkan diri. Maka aku membuat diriku sibuk. Sibuk dengan Tia, Alvin dan teman-temanku yang lain. Sibuk mengerjakan proposal skripsi. Sibuk menunggu dosen pembimbing. Sibuk mendatangi kafe-kafe baru. Sibuk menemani Anggi window shopping dari mall buka sampai menjelang Adzan Isya. Oh iya, Anggi adalah salah satu teman dekatku juga. Si hobi ngemall.
Akhir minggu ini, Rossy, teman kosku berencana mengajak kami ke Bogor. Katanya biar kami lebih akrab dan tahu dimana rumahnya, barangkali nanti kami ke Bogor lagi bisa mampir. Sekali lagi, aku mengiyakan karena aku tidak ingin berteman dengan kesepian yang akan menghadirkan banyak "andai-andai" tentang aku dan Mas Yoga episode lima ribu delapan ratus dua belas hehe.
Sore itu, setelah memasuki wilayah Bogor, kami mampir dulu ke Botani Square, "ketemu temen aku dulu yah di Botani" kata Rossy. Aku yang kebetulan bersama dengan Anna sibuk window shopping, kebanyakan bergaul dengan Anggi menularkan hobi yang bukan aku sama sekali haha. Sedangkan Rossy bertemu dengan teman-teman sefakultas yang entah kenapa bisa banget ketemu di Bogor.
"Baby, temen aku teh ada yang mau kenalan sama kamu. Boleh?" Rossy menepuk pundakku. Aku yang masih ada di bawah bayang-bayang semu masa lalu hanya tersenyum sambil lalu. Sebuah penolakan halus yang justru oleh Rossy dianggap sebagai jawaban sukarela untuk dikenalkan. Sungguh Scorpio ajaib.
Aku tidak pernah mengingat tentang perkenalan itu karena memang tidak ada pesan masuk dari nomor asing, pun Rossy tak pernah membahas lagi, atau lebih tepatnya kami tidak sempat bertemu apalagi berbicara soal ini. Aku sibuk dengan dunia perkampusan, tak jarang memilih menginap di rumah Tia atau Anggi untuk menyelesaikan proposal sekaligus menghapus sepi. Si susah move on setelah dengan sombongnya menganggap move on bukan sesuatu yang sulit di masa Aji.
Sabtu ini aku memilih menemani Anna di kosan, menghabiskan waktu untuk karaoke lagu-lagu Batak meskipun aku bukan orang Batak. Notifikasi telepon masuk dari Rossy masuk ke ponselku, "Ya Ros?" kataku.
"Chiii, di kosan ngga? Ini Tama mau minta nomer kamu, boleh kan?" tanya Rossy. Aku mencoba mencerna siapa Tama, dan apa hubungannya aku di kosan dengan nomer ponsel. "Tama siapa?" tanyaku akhirnya.
"Tama yang ketemu kita di Botani, boleh ya? Apa aku ajak dia ke kosan aja?" sambungnya. "Ah, aku lagi mau jalan sama Anna, iya kasih aja. Chat aja ya kita Ros, aku udah mau jalan nih" alasanku, Anna cekikikan di hadapanku. Anna sudah mendengar tentang kisahku dengan Mas Yoga, dia juga tahu alasan aku tidak ingin membuka diri untuk saat ini. Singkatnya, Tama mendapatkan nomorku dari Rossy.
---
Tama : Hi Chi, ini aku Tama, temennya Rossy. Maaf ya ganggu :)
Chia : Oh iya :)
Tama : Gapapa kan Chi?
Chia : Tama tujuannya apa? Maaf ya Tama, aku nanya gini biar jelas aja.
Tama : Aku pengen deket sama kamu Chi, deket yg kedepannya serius. Gapapa kan Chi?
Chia : Maaf ya Tama, aku lagi belum selesai sama masa laluku. Aku ngga mau kamu buang-buang waktu
Tama : Aku bantu kamu selesaiin, aku bantu kamu sembuh. Boleh ya Chi?
---
"Chi! Lo ada gila-gilanya gue rasa!" oceh Tia membaca chat dari Tama seminggu yang lalu dan belum aku balas sampai hari ini. "Chi dia baik begini lo diemin, mau sampai kapan hidup sama luka dari Mas Yoga? Dia udah gone Chi! GONE! Ayolah ci, buka hati. Coba aja dulu, please!" lanjutnya.
"Ti, lo berisik deh. Kita lagi di perpus, bukan lagi di lapak sepatu Cibaduyut. Bisa diem ngga?" kataku.
"Chiaaaaaaa... eh ada Tia juga! Udah lama?" sapa Rossy yang tiba-tiba sudah duduk di meja yang sama dengan kami. Perasaanku sudah mulai menunjukkan ada yang tidak beres dengan kedatangan Rossy.
"Coy!" Rossy melambaikan tangan ke seseorang di belakangku. Aku tetap tenang dengan bahan skripsiku. Mencoba tidak membenarkan perasaan dan prasangkaku.
"Hallo Chi.." oke kali ini memang benar, pasti Tama. Aku tidak mengenal teman laki-laki Rossy yang lain. Aku mendongakkan kepalaku, tersenyum penuh paksaan yang sudah kuyakini 100% disadari oleh Tia jika aku terpaksa.
"Hai.." kataku kepada Tama, lalu sibuk lagi dengan laptopku pertanda tidak ingin diganggu. "Aku ke sana dulu ya Chi, ditungguin sama anak-anak" pamit Tama tetap dengan senyumnya. Aku mengangguk denga senyum yang sekali lagi kupaksakan.
---
Tama : Chi, semangat! :)
Chia : Hehe, tengkyu
Tama : Jangan menutup diri terus ya Chi :)
---
Sebulan Tama berusaha untuk membujukku, dan aku akhirnya menyerah. Mencoba membuka diri. Aku dan Tama mencoba menjalani semuanya berdua. Aku belum menemukan sesuatu pada diri Tama yang membuatku ingin melanjutkan kisah ini selain kebaikan dan kesabarannya. Benar-benar memberikan efek menenangkan sebagaimana PassionFlower Tea. Meskipun ketenangan itu tidak pernah membunuh sepi yang tetap menghadirkan Mas Yoga sewaktu-waktu.
Tiga bulan berjalan, akhirnya beberapa hal dari diri Tama membuatku luluh, terutama karena Tama bisa mengakrabkan diri dengan Tia. Itu hal penting bagiku. Sayangnya, ketika aku mulai mempercayakan kisah baru pada Tama, Tama pergi tanpa alasan. Aku mencoba menemukan alasannya melalui Rossy, menuntut langsung dari Tama, tapi Tama memilih diam. Mungkin Tama lelah karena usahanya terlalu besar dan aku memaklumi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEA OF MY LIFE
Short StoryHidupku akhir-akhir ini seperti sedang mencicipi berbagai jenis teh. Beberapa hadir untuk memberi bahagia tanpa efek samping, beberapa sisanya justru memberi efek samping yang berlebihan. Panggil aku Chia, seorang ambivert berzodiak Libra. Setelah m...