Awal dan Akhir

27 13 2
                                    

Suatu saat mungkin kau akan kehilangan apa-apa yang kau cintai. Tetapi percayalah pada akhirnya cinta akan kembali hadir dengan cara yang berbeda."

_______

Seperti hujan, air mataku merebak. Mengalir deras melewati pipi. Kubiarkan saja. Berharap dapat mengurangi sesak yang menggumpal. Rupanya satu tahun tak cukup bagiku untuk melenyapkan dia dari kepalaku. Bahkan sekadar menyadarkan dan menerima kenyataan bahwa dia benar-benar sudah pergi.

Tiga bulan setelahnya drama rumah tanggaku dengan laki-laki yang selama ini kuanggap sebagai sosok pangeran pelindung berakhir di tempat yang paling muskil, paling aneh. Tempat yang belum pernah terbayangkan bahkan dalam pikiranku. Di depan orang-orang asing. Seorang hakim ketua, hakim anggota dan seorang panitera.

Hari itu aku tidak banyak melakukan pembelaan. Hanya sesekali mengangguk atau menggeleng menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padaku. Selebihnya hanya diam. Sampai hakim mengetuk palu dan menyatakan perceraian kami sah. Menjadikan kami aku dan 'mantan suami'ku dua orang asing yang kini tidak lagi memiliki ikatan. Dua orang yang punya tujuan berbeda. Di ruangan itu meski riuh suara-suara aku seolah terlempar ke sebuah tempat yang paling sunyi. Seorang diri medapati dunia gelap gulita, merasakan kepedihan dan pilu yang mencekam.

Persidangan usai. Aku tertunduk dalam. Meski kulihat dia sejenak melayangkan tatapan padaku tetapi detik itu aku tidak lagi ingat apa kami benar-benar pernah mejalani hari-hari bersama?

Yang kutahu segalanya kini usai
sudah ...

Sebuah cerita telah sampai pada akhir yang menyedihkan. Saatnya menutup lembar-lembarnya. Tak ada lagi paragraf-paragraf yang perlu dibaca. Setiap kalimat sudah terlewati dan kini tiba pada tanda titik.

Menjadi kenangan yang akan mengabadi pada waktu. Menjadi sejarah yang tidak akan terulang. Kita cukup mengingatnya saja.

Dan selanjutnya membiarkan kami berjalan ke masing-masing arah.

Tidak ada lagi kata-kata mesra setiap dia membangunkanku. Tidak ada lagi pesan singkat atau telepon menanyakan apa aku sudah makan atau belum. Tidak ada lagi yang menunggu atau yang di tunggu saat salah satu dari kami terlambat pulang.

Tidak ada lagi lagu-lagu lawas, yang kami putar sembari duduk di teras belakang, di temani secangkir teh hangat dan roti isi. Tidak ada lagi kejahilan-kejahilan di kamar mandi ketika dia dengan iseng mengunciku dari luar, yang membuatku menjerit-jerit tapi akhirnya dia ikut masuk dan aku dengan senang hati memukulinya sampai dia minta ampun.

Tidak ada lagi kejutan-kejutan tak terduga. Tidak ada lagi ... Semua yang terjadi seperti mimpi dan kini aku terjaga. Melihat kenyataan dengan hati hampa.

_____

Aku bergelayut manja pada papa yang sedang duduk dengan posisi menyamping didepan meja menghadap ke jendela kaca. Meembentangkan lembaran koran dengan kedua tangannya. Raut muka terlihat serius. Kaca mata bertengger mantap di atas batang hidungnya yang tinggi.

"Mai, ngagetin Papa aja." Beliau menutup halaman koran pagi ditangannya lalu berpaling ke arahku.


"Mai bawain sarapan. Papa makan ya."


Kuletakkan piring dan segelas susu di atas meja. Kemudian ikut duduk disampingnya. Dia mendesah tampak enggan menyentuh nasi yang tak sampai setengah piring itu. Tapi aku membujuknya. Begitulah setiap kali. Setelah berhasil menghabiskan sarapannya aku mengambil kotak obat dan membuka satu persatu tablet yang harus beliau minum sesuai anjuran dokter.


"Mai, Papa sudah bosan minum obat terus setiap hari. Bisa nggak kasih Papa libur barang sehari, dua hari. Perut rasanya eneg dan kembung. Bikin papa nggak nyaman. Lagian buat apa terus-terusan minum obat. Papa nggak bakalan sembuh." Keluhnya bersungut-sungut sembari berusaha menelan obat satu persatu yang kuletakkan di telapak tangannya.

Izinkan Aku Menjadi  Ibu Untuk Anak-AnakmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang