Pada dasarnya hati manusia memang tidak ada yang bisa memprediksi akan seperti apa keadaannya besok. Bisa saja hari ini hati kalian begitu bahagia hingga rasanya tumbuh puluhan hektar taman bunga di hati kalian tapi siapa yang tau badai yang akan menerpa esok hari? Tak ada yang tau karena pada hakikatnya manusia adalah mahluk tak berpendirian yang sangat mudah sekali goyah.
Jika kemarin Naruto begitu lembut memperlakukan Hinata bahkan pemuda itu memberinya akses luas jika Hinata ingin pergi menemui Toneri maka hari ini semua berbeda. Naruto memasang wajah datarnya saat mendengar Hinata hendak pergi ke rumah sakit. Dia kenapa? Padahal kemarin semua baik-baik saja.
“Nar, aku jenguk Toneri sebentar ya? Dari kemaren aku belum ke sana..”
Tak ada jawaban, Naruto menyibukkan diri dengan buku anatominya dan mengabaikan Hinata yang sibuk mondar-mandir di hadapannya. “Nar..”
Naruto berdecak kesal lalu membanting bukunya, “Gue bilang enggak ya enggak Nat. lo batu banget sih?”
“Tapi udah dari kemaren aku nggak ke sana, kalau tiba-tiba dia bangun gimana? Nanti dia nyari aku gimana Nar??”
“Terus apa urusannya?"
“Ya dia kan pacar aku Nar, aku harus di samping dia..”
“Oh, jadi gue lo anggap apa lah?” tanya Naruto dengan nada bicara yang terkesan dingin dan menusuk. Lidah Hinata kelu, gadis itu meremat jemarinya bingung. Ingin sekali Hinata mengatakan sebaris kalimat yang bisa membuat Naruto mengerti tapi nampaknya tidak semudah itu. Semua ide gagasan yang ada di kepala Hinata buyar tatkala di tatap oleh netra sekelam samudra yang begitu pekat.
“Gak bisa jawab lo?”
“Na-“
“Bacot anjing,” Naruto menghempaskan selimut yang membalut tubuhnya lalu turun dari ranjang. Persetan dengan liburannya yang berkualitas Naruto menyesal menaruh harapan tinggi pada gadis itu tadi.
Pada ahirnya Naruto lebih suka menghabiskan waktu liburnya di dalam perpustakaan di temani tumpukan buku juga beberapa botol wine. Memang agak aneh tapi ya seperti itulah kebiasaan Naruto.
Hinata merasakan dadanya sesak, entah kenapa dia tidak suka cara Naruto menatapnya. Itu sangat berbeda dari biasanya dan ada satu sudut yang membuat hati Hinata sakit luar biasa saat menatap mata itu.
Tapi apa sebabnya? Memangnya Naruto siapa? Apa pengaruhnya? Bukankah dia hanya seseorang yang membantu Hinata?
Dia mengklaim Hinata miliknya tapi harusnya hati Hinata tidak ikut andil dalam hal ini. Hinata sudah cukup dewasa untuk mengendalikan emosi serta perasaannya. Tapi kenapa sekarang terasa berbeda? Kenapa Hinata mendadak merasa bersalah?
Hinata mengetuk pintu perpustakaan tempat Naruto menyendiri, tiga bulan hidup bersama pemuda itu membuatnya hafal seperti apa pola kebiasaan pemuda itu. “Nar aku masuk.,”
Tanpa menunggu jawaban Naruto, gadis itu langsung masuk ke dalam dan benar dia mendapati Naruto sedang duduk di sudut ruangan dengan segelas minuman di tangannya. Hinata mendekat dengan ragu, aura Naruto begitu kelam. Apakah seperti ini sosok Naruto sesungguhnya? Kenapa pemudaitu sangat sulit di prediksi?
“Naruto..”
Tak ada jawaban, Naruto hanya meggulirkan matanya hingga bersitatap dengan Hinata.
“Maaf..” lirih Hinata, dia menunduk sambil berusaha menahan bulir-bulir air matanya yang siap jatuh berceceran. “Aku nggak pergi kalau kamu gak ngizinin, jangan marah ya..” sungguh, Hinata lebih suka Naruto yang sering menatapnya tajam dan berbicara sarkas daripada yang pendiam dan juga dingin seperti ini. Naruto mengerikan ketika sedang diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Choice | Namikaze Naruto ✔️
Fanfic18+ Jangan mampir kalau masih merasa belum cukup umur! Disclaimer : Masashi Kishimoto Ide cerita : MhaRahma18 Cover by : Pinterest