Apa tadi katanya. Mas Adi beristri lagi.
Bukannya sedih atau marah, aku hanya sangat terkejut dengan keberaniannya berkata begitu, badanku juga yang tadinya lemas karena kaget. Menanggapi ucapannya, kini aku justru tertawa terbahak. Namun tertawaku sangat tidak ikhlas. Lucu sekali bualannya.
Bagaimana mungkin?
Di Kota lagi. Wah, ini si Tashar benar-benar ya.
"Ngah, aku tidak berbohong. Itulah kenyataannya. Semua warga tahu itu. Anak-anakmu juga mengetahuinya, hanya kamu yang tidak tahu kan? Karna bukannya terkejut kamu justru tertawa seperti ini." Tashar berubah marah. Karna aku mentertawakannya.
"Bagaimana mungkin? Sedangkan Mas Adi tidak punya apa-apa untuk biaya pergi ke Kota? Bukannya kalau ke kota harus naik angkot dulu. Lah, Mas Adi dapat uang darimana untuk membayar angkotnya itu." balasku. Memang benar, jangankan untuk bayar angkot. Untuk membeli beras saja kami tidak punya. Padahal hari itu, kami berdua belum makan apapun. Karena tidak ada uang yang dipegang.
"Jadi si Adi bukan hanya bohong kemana dia pergi, namun ia juga tidak jujur padamu perihal semuanya."
Mendengar kata 'perihal' aku langsung menoleh pada Tashar.
"Perihal apalagi? Bagaimana mungkin Mas Adi bisa tinggal di kota,sedangkan kamu tahu sendiri, sepetak tanah saja kami tidak punya selain tempat berdirinya pondok yang kini sudah menjadi abu itu." Tunjukku pada bekas bangunan pondok. Namun, seperti kuberitahu sebelumnya. Pondok itu sudah tak ada lagi.
Kupandang dalam tepat dimatanya. Memastikan apakah ada sorot kebohongan di sana. Namun, nihil aku tidak menemukan kebohongan itu didirinya. Itu tanda jika ia benar-benar berkata jujur.
Namun sangat sulit untukku percaya. Mempercanyai berita yang sangat tiba-tiba ini. Pikirku. Ini tidak masuk akal sama sekali. Bagaimana mungkin. Mungkin saja jika itu Mas Adi yang berbohong padaku. Itu akan sangat mungkin. Lalu, bagaimana dengan anak-anak? Jika benar. Tega kah mereka membohongi aku yang notabennya adalah orang tua kandung mereka.
Itulah yang membuatku sekarang bertambah pusing. Sudah pusing memikirkan pondok yang menjadi abu, kehilangan Mas Adi, lalu ini kenyataan apalagi?
Di umur setengah abad. Seharusnya, sekarang ini aku duduk santai sambil ngemong cucu. Seperti teman sebayaku di kampung ini. Namun, aku justru pusing tujuh keliling memikirkan masalah hidup yang begitu rumit.
Belum selesai satu masalah. Datang kembali masalah baru. Bagaimana caraku mengahadapinya jika yang dikatakan Tashar ini sungguh-sungguh benar adanya. Bisa gila aku, jika itu benar-benar terjadi padaku.
'Astagfirullah! Jangan berpikir macam-macam' rutukku dalam hati.
Rasanya aku tidak siap. Sehingga sempat berpikir hal yang mengerikan yang terjadi jika keadaan ini benar-benar nyata menimpaku. Ironis sekali hidupku jika ini benar-benar kenyataan.
Bukan, tentu saja ini bukan kenyataan. Ini hanya candaan Tashar yang kurang kerjaan. Ya, itu pikiranku yang teramat kalut. Sehingga, untuk mempermudah, aku sangkal saja semua itu.
Dengan begitu, jika semuanya benar. Aku cukup menyangkalnya saja kan? Iya, benar. Sangkal saja semuanya.
Pikiran mensugestiku untuk menyangkal, agar itu tidak terlalu menjadi beban. Namun disudut kecil di dalam dada. Penyangkalan itu seakan tak berarti, karena sakitnya bagaikan luka yang menganga, lalu ditaburi garam.
Perih sekali. Dan sakitnya nyata terasa. Padahal tidak ada yang memukul. Jangankan memukul, yang menyentuh dadaku saja tidak ada. Tapi kenapa, ini sakit sekali. Tuhan.
"Kalau masih tidak percaya, datangilah anakmu. Minta penjelasan kepada mereka, kenapa mereka seberani dan setega itu sudah membohongimu" ucap Tashar mengembalikan akal sehatku.
Tashar benar. Tentu saja aku harus memastikan dan menanyakan langsung kepada mereka.
Sakit dalam dada itu masih terasa. Namun, untuk memastikan semua, aku harus kuat bukan. Apalagi, aku bukan sosok remaja labil atau perempuan setengah baya. Aku adalah sosok dewasa dalam tubuh tua renta. Keadaan tidak mendukungku menjadi sosok yang lemah.
"Aku tidak tahu, yang kamu katakan itu benar atau tidak. Namun, sekarang aku sudah memikirkannya. Bagaimana jika itu benar, bagaimana jika anak-anakku benar seperti yang kamu katakan, rasanya sungguh tidak bisa dijelaskan. Sehingga, untuk mengetahui yang sebenarnya, aku harus menemui mereka kan?"
"Seandainya yang kamu katakan itu bohong, kamu tahu kan apa yang terjadi padamu?" lanjutku lagi sebelum meninggalkannya. Itu adalah ancaman. Karena jika ia berbohong, aku tidak akan tinggal diam. Nama baik keluargaku adi taruhannya.
"Aku terima apapun itu Ngah, namun apa aku boleh meminta satu hal padamu?"
Aku tertawa sinis, saat mendengar ia meminta sesuatu dariku.
"Kalau-kalau kamu lupa, semua yang kumiliki sudah berubah jadi abu. Semuanya, selain baju dibadanku ini, uang juga kamu tahu sendiri aku tidak punya itu. Apa jangan-jangan kamu mau baju yang aku kenakan ini" celaku. Karna memang aku tidak mempunyai apa-apa lagi sekarang. Selain baju di badan.
"Bukan itu yang kumau, aku hanya ingin. Kamu menjalani semuanya dengan kuat jika yang aku katakan itu benar adanya Ngah. Kamu harus kuat! Itu pintaku Ngah." Dengan tersenyum tulus ia mengatakan inginnya tersebut.
"..."
Aku tidak menjawab. Kuat seperti apa yang ia katakan itu. Aku sungguh tidak paham. Kuat untuk menghajar anak-anak kah karna mereka sudah berbohong padaku. Atau untuk memberi perhitungan pada suamiku. Itukah kuat yang dia maksud?
Karna umur yang tua ini sehingga aku tidak paham maksudnya apa. Ah, aku kembali menyalahkan umur.
Tanpa menjawab, aku berlalu meninggalkan Tashar. Aku harus bergegas, menuju rumah Ida. Anak sulungku.
Pemandangan yang sangat indah sebenarnya yang tersaji di depan. Anak dan cucuku bermain permainan yang aku tidak tahu namanya. Karna, ini baru pertama kali melihat alat permainan tersebut.
Kenapa aku justru tidak bahagia melihatnya. Mereka bermain seakan tidak ada beban. Ah, tentu saja. Memang dia harus repot dan sedih sepertiku. Yang hilang kan suamiku. Walau begitu, tetap saja, suamiku juga Bapaknya kan? Setidaknya rasa khawatir itu ada. Namun dia begitu terlihat bahagia. Kenapa justru aku tidak ikut merasakan bahagia itu.
Ah, mungkin karna masih terbawa hanyut kata-kata yang diucapkan Tashar, sehingga aku jadi seperti ini.
Aku menggeleng pelan, tanda jika aku harus tanya kebenarannya dulu pada anakku. Jangan mudah percaya pada orang lain.
Tidak membuang waktu. Aku segera menghampiri mereka.
"Assalamualikum" aku mengucap salam dengan antusias.
Namun bukannya menjawab salam, atau senang melihat kedatanganku. Ida justru terkejut atas kedatangan mamanya ini.
Dan dia tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Ada apa denganmu nak?
Jangan buat mama berpikir jika yang Tashar sampaikan itu benar Nak.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU DIKALA SENJA
Fiksi UmumSesakit itu rasanya... namun, Aku tetap tersenyum ....