(n) - e / se / den / si / es
seseorang yang menyembunyikan luka dibalik senyuman
---
Natasha Gunawan, bungsu dari dua bersaudara. Acha, begitu biasa orang memanggil namanya. Tahun ini usianya menginjak 27 tahun. Single menahun, bukan karena tidak ada yang mendekat. Banyak yang mendekat, tapi 90% absurb. Mulai dari posesif tingkat lanjut sampai yang mendekat tanpa arah dan tujuan yang jelas. Acha bukan pemilih, tapi karena yang datang benar-benar tidak dapat dimengerti, maka lebih baik sendiri. Begitu prinsipnya.
Acha adalah seorang ambivert, terlihat ekstrovert di mata banyak orang, tapi tidak sepenuhnya benar. Hanya sebagian kecil teman dekatnya yang memahami bahwa Acha cukup sering menyimpan banyak cerita di dalam hatinya. Lebih banyak memilih menelan pahit itu sendiri sampai di ambang batas kemampuannya. Acha si eccedentiast menurut Airin, sahabat dekatnya. Dari banyak pahit yang dijalani, Airin lah yang mengerti 100% kisahnya.
"Hallo Rin?" sapa Acha di ujung telepon.
"Hallo sayang, gimana? Any update?" sambut Airin seperti biasa. Dari hal terpenting sampai ter-tidak penting hidup Acha akan dibagi pada Airin. Bagi Acha, Airin adalah hal terpenting dalam hidupnya. Tempat sampah terbaik yang akan mendaur ulang isinya secara mandiri.
"Gue bosen Rin, masih aja drama di sini. Tadi siang si Bos ngajakin staffnya buat makan siang, ada gue di situ, tapi ditengok pun engga. Gue bukan soal makannya Rin, gue bisa beli sendiri. Ini soal dianggep ngga-nya gue sebagai salah satu staffnya" aku menghela nafas mengingat kejadian tadi siang di kantor.
Sudah tiga bulan Acha dimutasi menjadi salah satu staff marketing di kantornya. Acha bukan orang yang dingin, justru dia adalah orang yang super easy going dan bisa membaur dengan cepat dengan lingkungan. Tapi kali ini ada yang aneh. Acha merasa ada yang salah dengan kehidupan kantornya. Bos yang dulu begitu welcome dengan kehadiran Acha, akhir-akhir ini menjadi dingin tanpa Acha tau penyebabnya.
"Udah Cha, ngga usah diambil hati. Biarin aja. Mending lo cuci mata cari jodoh di kantor he he he he" Airin dan semangat yang selalu jauh dari kata solutif.
"Lah kan lo tau, di sini gue paling muda dan gue doang yang single. Sisanya udah beranak-pinak. Ada sih satu ganteng, tapi dia orang pusat" jawabku. Sebagai staff termuda di usia 23 tahun saat itu, selain menebak, mengikuti dan menyesuaikan diri dengan kondisi kantor aku memang hobi mengamati kondisi sekitar. Kali aja ada yang bisa dimangsa hihihi.
"Ih itu jari manis masih bisa kali dipasang 4 cincin, tinggal lo maunya urutan keberapa? Satu kan udah ga mungkin, masih ada nomor 2 sampai 4. Hahahahahaha" Airin tertawa puas. Kami bukan penganut paham poligami, tapi seringkali menyemangati satu sama lain atas kesialan menjadi single dengan teori 4 cincin dalam satu jari manis.
"Pala lo longsor! Udah ah, gue mandi dulu yak! Buah kesemek, buah kedondong. Assalamualaikum dulu doonggg!" aku mengakhiri pembicaraan yang mulai tidak terarah ini.
"Pala gue nanjak, mana ada longsor? Buah rambutan kulitnya merah, ya emang dong! Kalau kuning lemon namanya he he he he. Bye!" Airin si garing yang selalu disambut tawa olehku, sekrispi apapun lawakannya. "Walaikum salam sayang!" lanjutnya mengakhiri panggilan telepon kami.
---
Susah payah aku menghadirkan mood untuk berangkat menuju kantor. Akhir-akhir ini drama Bos pilih kasih membuat semangatku menurun drastis. Ya meskipun di kantor jubah sedih, merasa tersisih dan kesal pasti akan aku ganti dengan tawa sumringah seperti tidak ada satupun yang terjadi. Acha si eccedentiast.
"Oke, mari kita mulai hari ini. Kamu bisa Cha! Remember, they tried to bury you but they didn't know you were seed! Hakuna matata!" aku merapal kekuatan sebelum menyalakan PC kantor dan mulai sibuk dengan pekerjaanku. Tenggelam dengan berbagai macam deadline.
"Cha, makan kali jangan kerja mulu" seseorang menepuk pundakku. Bang Didi, senior beda departemen yang menjadi teman baikku sejak pertama kali aku masuk ke kantor ini.
"Kaget gue!" aku membereskan beberapa dokumen yang tercerai berai di meja.
"Cha, gojekin nasi udang oke kali Cha, ya ngga sih bang?" sahut Kak Alma yang sudah bersandar di dinding kubikalku. "Heran gue sama lo Cha, meja kerja rapi amat. Ngga kerja ya lo?" Kak Alma meledek. Aku hanya tersenyum kecut. Kubikalku mendapat predikat ter-rapi dan ter-bersih seantero kantor. Bukan karena ngga kerja seperti yang suka dicandakan oleh teman-temanku, tapi karena memang aku sama sekali tidak bisa bekerja dalam kondisi berantakan.
"Udah gue aja yang pesen. Lo mau Cha?" sela Bang Didi.
"Gue bawa makanan nih bang" aku menujukkan bekalku.
"Ih mana kenyang makan daun-daunan begitu? Udah pesenin aja Bang!" sahut Kak Alma setelah melihat bekal salad sayur yang kubawa.
"Yara, Sita, ikut saya makan siang di luar ya!" suara si Bos tiba-tiba menggema. Bang Didi dan Kak Alma terdiam saling memandang. Kak Alma spontan mengelus ujung kepalaku. Sedang Bang Didi mengibaskan tangannya sebagai kode untuk tidak memikirkan hal ini.
Mereka berdua tahu apa yang sedang aku alami. Mereka berdua juga bingung apa yang terjadi sebenarnya.
"Gue kata sih ini si Yara sama Tata sama kampretnya. Aturan mereka tahu si Acha ngga mention, bisa kali bisikin si Bos. Heran gue" Bang Didi nyerocos setelah rombongan marketing tersebut berlalu.
"Iya gue juga, pada somplak kali. Kalo Acha ada salah kan mereka harusnya ngelurusin. Bukan diem-diem aja kayak lagi sariawan segede kebon" Kak Alma ikut menimpali.
"Sabar ya Cha, udah makan sama kita aja. Jangan dipikirin" tiba-tiba Bu Nana masuk ke dalam obrolan ini. Aku tersenyum, "Nggapapa kali Bang, Kak, Bu. Selera makan sayur gue berubah jadi nasi udang nih. Pesen geura"
---
Berminggu-minggu aku dihadapkan kondisi pahit di kantor, aku berusaha untuk terus baik-baik saja. Hanya Airin yang setia mendengarkan semua keluh kesahku. Kalau Tuhan memberi limit mendengar untuk setiap pasang telinga, mungkin Airin akan menjadi manusia kaya raya karena mendapat biaya pembelian telinga terbanyak dari aku. Maka sudah tentu aku harus lebih kaya dari Airin, karena aku harus membeli banyak telinga.
Pulang ke rumah punmasih harus berjibaku dengan banyak kesulitan. Menata emosi pasca lebih darisetengah hari di kantor, meng-handle beberapapekerjaan rumah dan juga merawat Ibu yang sedang berjuang melawan cancerstadium 3 nya. Itu sebabnya, aku lebih banyak menceritakan keluhku pada Airin,karena aku tahu semua anggota keluarga di rumah ini sedang berjuang dengankesulitan yang sama beratnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CARAPHERNELIA
Non-FictionCARAPHERNELIA - ka / ra / fer / ne / lia (n) keadaan dimana seseorang meninggalkan kita, namun jejak langkahnya masih tertinggal dan menyisakan luka dalam kenangan kita. --- Natasha menemukan Ricky di rumitnya dunia. Bukan, bukan berarti Ricky baru...